Salah satu penyebab mengapa kita takut berubah, karena kita takut salah berubah. Kita tidak ingin berubah menjadi "lebih buruk." Semua orang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Sebelum masuk kepada perubahan, pertama-tama kita harus menetapkan "mata uang " apa yang kita gunakan untuk menilai perubahan tersebut. What is your currency?

Menjadi lebih baik... menurut ukuran siapa? Tuhan atau manusia?

Manusia memiliki kecenderungan untuk menilai segala sesuatu dari kaca mata "kedagingan." 1 Yohanes 2:15 menjabarkannya sebagai "keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup." Dengan bahasa lain saya coba mengubah ketiga hal tersebut menjadi: keinginan untuk memiliki, keinginan untuk melakukan dan keinginan untuk menjadi.

Kekristenan hari-hari ini terus diwarnai oleh pesan-pesan yang bernafaskan individualisme & humanisme. Ketika gereja kehilangan kedalamannya, dan beroperasi hanya berdasarkan kedangkalannya, maka kita akan terus "kebobolan" dengan arus pengajaran yang masuk tanpa filter di dalam Tubuh Kristus, dan beberapa orang mengklaimnya sebagai "pewahyuan" atau "kebenaran Allah."

Jika kita tidak mengkoreksi cara berpikir kita, menyerang motif-motif kita dan dengan jujur memikirkan ulang serta mendefinisikan ulang iman kita, kita akan selalu menafsirkan ayat-ayat firman Tuhan dari kacamata kedagingan & kebutuhan kita. Usaha mencocok-cocokan ayat firman Tuhan untuk mencari "approval" (persetujuan) & dukungan harus dihentikan.

Gereja harus masuk pada pertobatan motivasional, yaitu bertobat dari motivasi-motivasi yang salah. Pdt. Jonathan Pattiasina pernah berkata: "Beda motivasi, beda hasil akhir (high-end)!"

Gereja harus bergerak dalam roh pioneer untuk berani menggali kebenaran yang didasari oleh rasa hormat akan Tuhan, menjunjung tinggi kehendak Allah di atas kebutuhan manusia, menyerang motivasi hati yang salah, sehingga kita akan menemukan pewahyuan yang lahir dengan kedalaman yang berbeda.

Awal tahun ini, saya sempat merasa jenuh membaca Alkitab. Bukan karena saya tidak mencintai Firman Allah yang begitu luar biasa, tetapi saya seperti tidak menemukan pengertian baru dari ayat-ayat yang saya baca. Saya telah mendisplin diri untuk membaca Alkitab hingga habis dari Kejadian sampai Wahyu. Saya telah memberi tanda dengan stabilo atau menggarisbawahi ayat-ayat penting di dalam Alkitab sehingga Alkitab saya sudah sepertti buku gambar yang berwarna-warni. Saya merasa telah memiliki "presoposisi" terhadap ayat-ayat yang saya baca. Saya seperti sudah memiliki pengetahuan dan interpretasi tertentu terhadap ayat-ayat yang saya baca. Saya mencoba cara lain dengan sesering mungkin membuka alkitab terjemahan bahasa Inggris. Namun tidak seampuh yang saya harapkan.

Tahun ini saya mengalami proses perubahan kacamata. Mungkin saya lebih suka dengan istilah "currency" (mata uang). Ketika saya menilai kehidupan dengan "currency" (mata uang) yang berbeda (mata uang Kerajaan Allah), maka tiba-tiba saja Alkitab seperti sesuatu yang baru bagi saya. Saya kembali membuka beberapa buku teologia dan membacanya secara acak untuk membantu saya menggali bagian-bagian Akitab tertentu. Suatu malam saya terdorong untuk membaca sebuah buku berjudul Teologia Perjanjian Baru jilid 1 yang ditulis oleh George Eldon Ladd. Saya membacanya secara acak, langsung pada bagian-bagian yang menarik perhatian saya. Pikiran saya menerawang ketika apa yang saya baca, membantu saya memahami pola pikir orang Yahudi pada zaman PB ditulis.

Kemarin saya terusik dalam saat teduh saya, karena saya tidak mengerti isi kitab Tawarikh. Saya merasa kumpulan cerita di dalam kitab tersebut sudah sering saya dengar. Pagi itu saya memutuskan untuk mencari tahu latar belakang penulisan kitab Tawarikh. Tiba-tba saja pikiran saya terbuka. Saya melihat kitab tersebut dari maksud dan tujuan penulisannya. Salah satu buku yang memicu saya untuk menggali Alkitab lebih lagi ialah: The Bible Jesus Read yang ditulis oleh Philip Yancey. Saya pernah membaca buku ini waktu saya masih kuliah. 2 hari yang lalu, saya membaca kembali buku tersebut dengan penuh rasa ingin tahu akan kitab-kitab yang dibahas di sana.

Mengenal Tuhan merupakan sebuah proses yang membutuhkan kerajinan di dalamnya. Kita tidak bisa mengenal Tuhan hanya dengan bermalas-malasan & berharap Tuhan akan menyingkapkan segala sesuatunya kepada kita. Kita harus berdoa dengan rajin, mencari dengan tekun, bertanya dengan berani, membayar harga untuk menemukan kebenaran yang kekal.

Semakin saya membaca firman Tuhan, semakin saya kagum akan isinya. Masih ada banyak hal yang tidak saya mengerti. Namun ketidakmengertian tersebut, justru membuat saya semakin mencintai firman Tuhan dan rela membayar harga untuk mengerti kehendakNya yang terdalam.