Rabu, 12 Desember 2012

INI BUKAN WAKTUNYA MENGASIHANI DIRI

Mengasihi dan berbuat baik kadang membuat kita lelah. Bukan hanya kelah secara fisik, tetapi juga lelah secara emosional. Manusia diberikan 2 kapasitas oleh Allah, yaitu: kapasitas untuk memberi dan kapasitas untuk menerima.

Ada saat di mana pelayanan menuntut kita untuk terus-menerus memberi dan berkorban bagi orang lain, tanpa menghiraukan diri kita sendiri. Kita terus memperhatikan kehidupan orang lain, hingga suatu ketika kita merasa sepertinya orang lain tidak terlalu mempedulikan kita. Kita seperti seseorang yang memperhatikan semua orang, tetapi kita merasa tidak ada seorang pun yang memperhatikan kita.

Menjadi seorang pemimpin artinya menjadi orang yang siap menghadapi tuntutan-tuntutan. Tidak ada satu orang pemimpin pun yang tidak menghadap tuntutan. Semakin besar pengaruh kepemimpinan seseorang, semakin besar tuntutan yang ia terima. Setiap pemimpin harus mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan tuntutan, sebelum tuntutan-tuntutan tersebut menghancurkan dirinya.

Saya mengambil waktu berdiam diri di tengah segala kesibukan saya memikirkan masalah-masalah orang lain. Ketidakseimbangan hidup dapat membuat kita mudah masuk ke dalam perangkap intimidasi. Iblis dengan gencar menyemburkan kebohongan ke kepala kita.

Ini bukan waktunya mengasihani diri. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jangan meminta kepada manusia apa yang hanya bisa diberikan oleh Allah. DIA adalah sumber segala sesuatu yang baik.

Meski kita merasa lelah dalam berbuat baik, namun jangan berhenti berbuat baik. Disiplinkan pikiran-pikiran kita tentang orang lain, agar kita tidak mudah terintimidasi oleh karena hal-hal kecil yang terjadi. Jangan takut dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Hiduplah begitu luar biasa, sehingga pikiran-pikiran buruk orang lain tentang kita terbukti salah.

Keberanian Untuk Berserah

Kata "surrender" paling sulit dipahami di saat-saat krisis. Kita tidak suka saat di mana kita tidak memiliki kendali ketika saat-saat sulit terjadi di hidup kita. Pengalaman penuh penyerahan diri bisa menjadi pengalaman paling menyakitkan secara emosional. Kita berada posisi direndahkan tanpa kemampuan membela diri.

Saat di mana kita berhasil lolos dari sebuah krisis, bisa menjauhkan kita dari "penyerahan diri." Pengalaman rohani dapat menjadi pengalaman traumatis di mana kita tidak ingin kembali lagi ke sana. Kita betul-betuk tidak suka dalam keadaan kalah, tidak berdaya, tidak punya pilihan, tidak memiliki kendali dan kemampuan untuk membela diri (atau bahkan melindungi orang-orang yang kita cintai).

Penyerahan diri merupakan prinsip ilahi yang memliki nilai kekal. Allah tidak pernah mengubah prinsip-prinsip Kerajaan Allah yang bersifat kekal. Teladan Anak Domba ada pada kata "penyerahan diri." Pertukaran terjadi ketika kita menyerahkan kendali kita dan hidup dalam kendali Allah.

Ada kalanya saya merasa Allah begitu "ngotot" dan memaksa saya untuk berserah. Kadang kita merasa begitu takut "dizolimi" oleh Allah. Walaupun Allah Yang Maha Kudus "tidak memiliki kemampuan" untuk berbuat curang kepada kita. Kekudusan Allah membuat Allah dapat dipercaya. Motif dan tujuan Allah dalam setiap tindakanNya kepada kita, selalu dimotivasi oleh kemahatahuan dan kasihNya yang begitu besar.

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
(Yohanes 21:18)

Penyerahan diri kita menggambarkan tingkat kedewasaan rohani kita. Kita tidak dapat mengalami kedewasaan tanpa penyerahan diri, kita tidak dapat hidup dalam penyerahan diri tanpa kedewasaan.

Saya pernah mendengar seorang hamba Tuhan yang berkata: "Tidak ada istirahat tanpa penyerahan diri." Penyerahan diri bukan berarti bersikap pasif, melainkan secara aktif mencari tahu kehendak Tuhan.

Dibutuhkan keberanian untuk hidup dalam penyerahan diri kepada Tuhan. 








Rabu, 12 Desember 2012

Mengasihi dan berbuat baik kadang membuat kita lelah. Bukan hanya kelah secara fisik, tetapi juga lelah secara emosional. Manusia diberikan 2 kapasitas oleh Allah, yaitu: kapasitas untuk memberi dan kapasitas untuk menerima.

Ada saat di mana pelayanan menuntut kita untuk terus-menerus memberi dan berkorban bagi orang lain, tanpa menghiraukan diri kita sendiri. Kita terus memperhatikan kehidupan orang lain, hingga suatu ketika kita merasa sepertinya orang lain tidak terlalu mempedulikan kita. Kita seperti seseorang yang memperhatikan semua orang, tetapi kita merasa tidak ada seorang pun yang memperhatikan kita.

Menjadi seorang pemimpin artinya menjadi orang yang siap menghadapi tuntutan-tuntutan. Tidak ada satu orang pemimpin pun yang tidak menghadap tuntutan. Semakin besar pengaruh kepemimpinan seseorang, semakin besar tuntutan yang ia terima. Setiap pemimpin harus mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan tuntutan, sebelum tuntutan-tuntutan tersebut menghancurkan dirinya.

Saya mengambil waktu berdiam diri di tengah segala kesibukan saya memikirkan masalah-masalah orang lain. Ketidakseimbangan hidup dapat membuat kita mudah masuk ke dalam perangkap intimidasi. Iblis dengan gencar menyemburkan kebohongan ke kepala kita.

Ini bukan waktunya mengasihani diri. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jangan meminta kepada manusia apa yang hanya bisa diberikan oleh Allah. DIA adalah sumber segala sesuatu yang baik.

Meski kita merasa lelah dalam berbuat baik, namun jangan berhenti berbuat baik. Disiplinkan pikiran-pikiran kita tentang orang lain, agar kita tidak mudah terintimidasi oleh karena hal-hal kecil yang terjadi. Jangan takut dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Hiduplah begitu luar biasa, sehingga pikiran-pikiran buruk orang lain tentang kita terbukti salah.

Kata "surrender" paling sulit dipahami di saat-saat krisis. Kita tidak suka saat di mana kita tidak memiliki kendali ketika saat-saat sulit terjadi di hidup kita. Pengalaman penuh penyerahan diri bisa menjadi pengalaman paling menyakitkan secara emosional. Kita berada posisi direndahkan tanpa kemampuan membela diri.


Saat di mana kita berhasil lolos dari sebuah krisis, bisa menjauhkan kita dari "penyerahan diri." Pengalaman rohani dapat menjadi pengalaman traumatis di mana kita tidak ingin kembali lagi ke sana. Kita betul-betuk tidak suka dalam keadaan kalah, tidak berdaya, tidak punya pilihan, tidak memiliki kendali dan kemampuan untuk membela diri (atau bahkan melindungi orang-orang yang kita cintai).

Penyerahan diri merupakan prinsip ilahi yang memliki nilai kekal. Allah tidak pernah mengubah prinsip-prinsip Kerajaan Allah yang bersifat kekal. Teladan Anak Domba ada pada kata "penyerahan diri." Pertukaran terjadi ketika kita menyerahkan kendali kita dan hidup dalam kendali Allah.

Ada kalanya saya merasa Allah begitu "ngotot" dan memaksa saya untuk berserah. Kadang kita merasa begitu takut "dizolimi" oleh Allah. Walaupun Allah Yang Maha Kudus "tidak memiliki kemampuan" untuk berbuat curang kepada kita. Kekudusan Allah membuat Allah dapat dipercaya. Motif dan tujuan Allah dalam setiap tindakanNya kepada kita, selalu dimotivasi oleh kemahatahuan dan kasihNya yang begitu besar.

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
(Yohanes 21:18)

Penyerahan diri kita menggambarkan tingkat kedewasaan rohani kita. Kita tidak dapat mengalami kedewasaan tanpa penyerahan diri, kita tidak dapat hidup dalam penyerahan diri tanpa kedewasaan.

Saya pernah mendengar seorang hamba Tuhan yang berkata: "Tidak ada istirahat tanpa penyerahan diri." Penyerahan diri bukan berarti bersikap pasif, melainkan secara aktif mencari tahu kehendak Tuhan.

Dibutuhkan keberanian untuk hidup dalam penyerahan diri kepada Tuhan.