Selasa, 27 Agustus 2013

PERTOBATAN MOTIVASIONAL

Salah satu penyebab mengapa kita takut berubah, karena kita takut salah berubah. Kita tidak ingin berubah menjadi "lebih buruk." Semua orang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Sebelum masuk kepada perubahan, pertama-tama kita harus menetapkan "mata uang " apa yang kita gunakan untuk menilai perubahan tersebut. What is your currency?

Menjadi lebih baik... menurut ukuran siapa? Tuhan atau manusia?

Manusia memiliki kecenderungan untuk menilai segala sesuatu dari kaca mata "kedagingan." 1 Yohanes 2:15 menjabarkannya sebagai "keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup." Dengan bahasa lain saya coba mengubah ketiga hal tersebut menjadi: keinginan untuk memiliki, keinginan untuk melakukan dan keinginan untuk menjadi.

Kekristenan hari-hari ini terus diwarnai oleh pesan-pesan yang bernafaskan individualisme & humanisme. Ketika gereja kehilangan kedalamannya, dan beroperasi hanya berdasarkan kedangkalannya, maka kita akan terus "kebobolan" dengan arus pengajaran yang masuk tanpa filter di dalam Tubuh Kristus, dan beberapa orang mengklaimnya sebagai "pewahyuan" atau "kebenaran Allah."

Jika kita tidak mengkoreksi cara berpikir kita, menyerang motif-motif kita dan dengan jujur memikirkan ulang serta mendefinisikan ulang iman kita, kita akan selalu menafsirkan ayat-ayat firman Tuhan dari kacamata kedagingan & kebutuhan kita. Usaha mencocok-cocokan ayat firman Tuhan untuk mencari "approval" (persetujuan) & dukungan harus dihentikan.

Gereja harus masuk pada pertobatan motivasional, yaitu bertobat dari motivasi-motivasi yang salah. Pdt. Jonathan Pattiasina pernah berkata: "Beda motivasi, beda hasil akhir (high-end)!"

Gereja harus bergerak dalam roh pioneer untuk berani menggali kebenaran yang didasari oleh rasa hormat akan Tuhan, menjunjung tinggi kehendak Allah di atas kebutuhan manusia, menyerang motivasi hati yang salah, sehingga kita akan menemukan pewahyuan yang lahir dengan kedalaman yang berbeda.

Awal tahun ini, saya sempat merasa jenuh membaca Alkitab. Bukan karena saya tidak mencintai Firman Allah yang begitu luar biasa, tetapi saya seperti tidak menemukan pengertian baru dari ayat-ayat yang saya baca. Saya telah mendisplin diri untuk membaca Alkitab hingga habis dari Kejadian sampai Wahyu. Saya telah memberi tanda dengan stabilo atau menggarisbawahi ayat-ayat penting di dalam Alkitab sehingga Alkitab saya sudah sepertti buku gambar yang berwarna-warni. Saya merasa telah memiliki "presoposisi" terhadap ayat-ayat yang saya baca. Saya seperti sudah memiliki pengetahuan dan interpretasi tertentu terhadap ayat-ayat yang saya baca. Saya mencoba cara lain dengan sesering mungkin membuka alkitab terjemahan bahasa Inggris. Namun tidak seampuh yang saya harapkan.

Tahun ini saya mengalami proses perubahan kacamata. Mungkin saya lebih suka dengan istilah "currency" (mata uang). Ketika saya menilai kehidupan dengan "currency" (mata uang) yang berbeda (mata uang Kerajaan Allah), maka tiba-tiba saja Alkitab seperti sesuatu yang baru bagi saya. Saya kembali membuka beberapa buku teologia dan membacanya secara acak untuk membantu saya menggali bagian-bagian Akitab tertentu. Suatu malam saya terdorong untuk membaca sebuah buku berjudul Teologia Perjanjian Baru jilid 1 yang ditulis oleh George Eldon Ladd. Saya membacanya secara acak, langsung pada bagian-bagian yang menarik perhatian saya. Pikiran saya menerawang ketika apa yang saya baca, membantu saya memahami pola pikir orang Yahudi pada zaman PB ditulis.

Kemarin saya terusik dalam saat teduh saya, karena saya tidak mengerti isi kitab Tawarikh. Saya merasa kumpulan cerita di dalam kitab tersebut sudah sering saya dengar. Pagi itu saya memutuskan untuk mencari tahu latar belakang penulisan kitab Tawarikh. Tiba-tba saja pikiran saya terbuka. Saya melihat kitab tersebut dari maksud dan tujuan penulisannya. Salah satu buku yang memicu saya untuk menggali Alkitab lebih lagi ialah: The Bible Jesus Read yang ditulis oleh Philip Yancey. Saya pernah membaca buku ini waktu saya masih kuliah. 2 hari yang lalu, saya membaca kembali buku tersebut dengan penuh rasa ingin tahu akan kitab-kitab yang dibahas di sana.

Mengenal Tuhan merupakan sebuah proses yang membutuhkan kerajinan di dalamnya. Kita tidak bisa mengenal Tuhan hanya dengan bermalas-malasan & berharap Tuhan akan menyingkapkan segala sesuatunya kepada kita. Kita harus berdoa dengan rajin, mencari dengan tekun, bertanya dengan berani, membayar harga untuk menemukan kebenaran yang kekal.

Semakin saya membaca firman Tuhan, semakin saya kagum akan isinya. Masih ada banyak hal yang tidak saya mengerti. Namun ketidakmengertian tersebut, justru membuat saya semakin mencintai firman Tuhan dan rela membayar harga untuk mengerti kehendakNya yang terdalam.


Kamis, 25 Juli 2013

MENJADI GEREJA / ORANG KRISTEN YANG BERTINDAK

Beberapa waktu terakhir ini, Tuhan sering mengingatkan saya akan sebuah pesan yang berbunyi: "Menjadi gereja (orang Kristen) yang bertindak!" Suatu ketika saya merasa capek melayani konseling, konsultasi, mengajar, mementor dan menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang Kristen. Sepertinya telah muncul sebuah trend kekristenan di mana orang-orang kristen "kecanduan pewahyuan baru" atau "kecanduan materi pengajaran terbaru." Banyak orang Kristen hanya hobi mendengar & mengumpulkan pewahyuan. Apa yang mereka pelajari hanya menjadi sebuah wacana tanpa kemampuan & kemauan untuk mengimplementasikannya.

Pesan kitab Yakobus tentang "menjadi pelaku firman" tiba-tiba saja menjadi hidup, Saya teringat perkataan seorang hamba Tuhan yang mengatakan bahwa salah satu penyebab banyak hamba Tuhan jatuh ialah karena mereka membaca firman untuk mereka khotbahkan bukan untuk mereka hidupi.

Kita hanya akan memiliki pewahyuan yang kita hidupi, bukan pewahyuan yang hanya kita dengar. Kita tahu dengan cara mendengar, namun kita memahami dengan cara melakukan. Semakin sering dan semakin banyak kita melakukan kebenaran, maka akan semakin dalam pemahaman kita akan kebenaran tersebut.

Tahun ini, Allah memberkati saya dengan mentor-mentor yang luar biasa. Hamba-hamba Tuhan yang luar biasa ini bersedia meluangkan waktunya untuk mengajar dan memuridkan saya. Sesi-sesi pemuridan bersama mereka sungguh luar biasa. Saya banyak mencatat hal-hal yang sangat berharga. Namun tiba-tiba saja saya menyadari bahwa saya memiliki banyak PR untuk dikerjakan. Apa yang saya catat bukanlah sekumpulan materi yang akan menjadi bahan khotbah saya nanti, melainkan sekumpulan pelajaran yang harus saya hidupi.

John C. Maxwell pernah berkata: "Jika anda tidak persiapan, anda pasti akan selalu ketahuan." Saya menyadari pentingnya kebenaran ini. Jika saya tidak menghidupi apa yang diajarkan kepada saya, suatu hari saya pasti akan ketahuan. Tantangan-tantangan yang akan saya alami di kemudian hari akan menyingkapkan sejauh mana saya telah menghidupi kebenaran.

Ketika Roh Kudus memberikan teguran, saya harus memaksa diri untuk tidak menunda langkah ketaatan yang IA tuntut dari saya. Menunda ketaatan sama dengan tidak taat. "Menjadi orang Kristen atau gereja yang bertindak" menjadi pesan yang beberapa minggu ini terus saya sampaikan kepada jemaat/komunitas yang saya pimpin.

Untuk melihat komunitas ini bertumbuh, saya harus terus mendorong mereka untuk terus bertindak. Jangan hanya sekedar mengagumi khotbah-khotbah yang bagus tapi tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang taat.

Pelajaran ini menjadi sebuah perenungan yang dalam bagi saya. Dengan sangat tepaksa saya harus memasang rambu untuk mengingatkan saya akan pesan ini. Saya telah bertemu dengan para pemikir dan ide-ide hebat. Namun ide luar biasa yang hanya dibicarakan adalah ide yang tidak berguna. Ubahlah perkataan-perkataan kita menjadi tindakan, sehingga tindakan ketaatan kita menghasilkan kita lebih banyak pengalaman rohani, di mana pengalaman-pengalaman rohani tersebut akan membentuk kehidupan emosi kita menjadi rohani.



Rabu, 22 Mei 2013

MEMAHAMI PERBEDAAN MENGHAKIMI DAN MENILAI

Banyak orang marah dan takut jika mereka merasa dihakimi oleh orang lain. Tidak selamanya kita bisa menghindar dari penghakiman orang lain. Firman Tuhan memang melarang kita untuk menghakimi, tetapi kita tidak bisa mencegah orang lain menghakimi kita. Apa yang dapat kita lakukan ialah hiduplah sedemikian rupa sehingga penghakiman orang atas hidup kita terbukti salah. TRUTH TAKES TIME! Itulah yang Roh Kudus ajarkan kepada saya.

Setiap orang berhak menilai orang lain. Menilai merupakan bagian dari membuat keputusan atau pilihan. Jangan takut hidup kita dinilai orang lain. Menerima penilaian orang lain merupakan bagian dari kehidupan. Jangan takut dengan kenyataan bahwa kita tidak sempurna. Takutlah jika kita sudah merasa terlalu sempurna. Jangan minta maaf karena kita tidak sempurna. Justru kita harus meminta maaf jika kita terlalu merasa sempurna sehingga memandang rendah orang lain.

Menghakimi berarti menilai dengan sikap hati yang salah. Yang membedakan antara menghakimi dan menilai ialah sikap hati kita. Sikap hati kita menentukan bagaimana kita memandang sesuatu. Perikop hal menghakimi yang terdapat di dalam Matius 7 memberikan kita gambaran bahwa jika hati kita nggak bener, kita akan melihat hal-hal yang sebenarnya tidak pada diri seseorang.

Kita menilai untuk memperbaiki. Kita menghakimi untuk menghancurkan. Kedua hal tersebut mirip, namun dampaknya berbeda.

Sebagai pemimpin rohani kita harus memiliki kemampuan untuk menilai secara tajam & rohani, di mana penilaian kita didasari oleh standard firman Allah, maksud & tujuan yang baik, serta cara-cara yang berada di bawah kendali Roh Kudus.

Sikap menghakimi dapat merupakan racun dalam praktek kepemimpinan rohani. Pada umumnya penghakiman merupakan produk dari hati yang terluka. Kekecewaan, kepahitan & kemarahan dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang suka menghakimi. Menghakimi selalu berfokus pada menemukan kesalahan, meskipun ketika kesalahan tersebut tidak ada. Menilai berarti menemukan kesalahan sekaligus kebenaran, kelemahan sekaligus kelebihan, potensi masalah sekaligus potensi jalan keluar di dalam diri seseorang.

Kebiasaan menghakimi dapat menghancurkan kualitas-kualitas hubungan yang kita miliki. Jangan bawa sikap menghakimi dalam pernikahan, parenting, kepemimpinan, pelayanan, pekerjaan atau persahabatan kita. Kita boleh menilai, tapi jangan menghakimi. Pastikan hati kita selalu berada dalam kondisi yang baik pada saat memberikan penilaian.

Jangan berhenti menilai hanya karena takut dibilang "menghakimi." Penilaian yang baik akan membawa kita pada kemajuan.

Ada banyak orang Kristen yang berhenti melakukan apa yang seharusnya hanya karena takut dihakimi oleh orang lain. Pengalaman traumatis tersebut seharusnya tidak boleh menghalangi kita berjalan di dalam ketaatan.

Jika saya berhenti setiap kali saya merasa dihakimi, maka pekerjaan Allah tidak akan pernah selesai. Teruslah melangkah bersama Allah dengan sikap terbuka terhadap koreksi. Terkadang penghakiman-penghakiman keras yang kita terima, berisi pesan-pesan yang dapat menyelamatkan kita dari kehancuran. Hanya karena caranya salah, kita menolak pesan yang sebenanya kita butuhkan untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.

Jangan takut dengan penghakiman. Jadilah orang yang tetap fokus pada kehendak Allah bukan pada perasaan!


KETIDAKSEMPURNAAN DALAM KEPEMIMPINAN

Jika kesempurnaan merupakan prasyarat untuk menjadi seorang pemimpin rohani, maka tidak akan ada orang yang memenuhi syarat. Rohani berbeda dengan Agamawi. Rohani berarti: dikuasai / dikendalikan oleh Roh Kudus.

Salah satu hal paling sulit yang menjadi tantangan hidup berkomunitas ialah menerima & memahami ketidaksempurnaan pemimpin. Ketidaksempurnaan seringkali menjadi sumber kekecewaan & perpecahan dalam jemaat. Sejak pertama kali mengemban tugas, para pemmpin rohani seringkali menerima beban psikologis yang begitu berat berupa penilaian jemaat. Gerak-gerik pemimpin rohani diawasi. Tidak heran jika ada pemimpin-pemimpin rohani yang terpaksa menutup account facebook-nya, untuk melindungi diri dari pandangan-pandangan negatif yang ditujukan orang-orang akibat ketidaksempurnaannya.

Diawal pelayanan saya sebagai seorang yang masih sangat muda, saya sering mengeluh tentang ketidaksempurnaan para pemimpin rohani yang saya tahu. Berita-berita ketidaksempurnaan mereka begitu mudah menyulut amarah saya untuk mulai mengadili mereka dalam beberapa percakapan dengan orang-orang tertentu.

TUHAN membawa perjalanan saya begitu jauh sehingga saya menjadi salah seorang yang menerima tanggungjawab sebagai seorang pemimpin rohani yang memimpin sebuah gereja lokal. Gereja komunitas tidak memberi tempat untuk kita sembunyi. Dalam hubungan jarak dekat, berbagai kelemahan saya dengan sangat mudah diketahui oleh orang lain. Mereka adalah orang-orang yang saya pimpin. Beberapa berusia lebih tua dari saya. Beberapa telah menjadi teman di masa sekolah. Kadang saya berpikir, alangkah sulitnya bagi mereka untuk mengakui saya sebagai "pemimpin rohani" mereka. Sepertinya lebih mudah bagi mereka menemukan seorang pemimpin yang memiliki nama besar, lebih hebat, lebih berkarisma & memiliki kemampuan yang sudah diakui oleh banyak pemimpin lainnya.

Merenungkan hal ini membuat saya tidak berhenti mengucapsyukur untuk sekumpulan orang yang selalu saya temui setiap minggu. Orang-orang menyebut mereka "jemaat." Saya lebih suka menyebut mereka "keluarga." Penerimaan mereka di tahun-tahun kepemimpinan saya yang penuh dengan ketidaksempurnaan, itulah yang mendewasakan saya.

Setiap hari saya belajar dengan keras, membaca buku, mengikuti pelatihan dan pemuridan/mentoring, mendengarkan CD atau DVD khotbah, untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepada saya untuk memimpin orang-orang penting tersebut. Sebelum kita menganggap penting orang-orang yang kita pimpin, kita tidak akan dapat berjalan lebih jauh bersama dengan mereka.

Tahun-tahun perjalanan kepemimpinan yang saya lalui, lebih banyak menyingkapkan kelemahan saya daripada menunjukkan kehebatan saya. Apa yang berat dari proses pembentukan seorang pemimpin rohani bukanlah ketika mereka harus mempersiapkan & membagikan 6 buah khtbah dalam 2 hari, melainkan bagaimana mereka bisa mengakui & menerima ketidaksempurnaan mereka serta terus berjalan maju untuk menikmati anugerah Allah yang sempurna.

Mata yang diubahkan oleh kasih karunia akan mengubah cara kita memandang ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan kita bukankah sebuah ancaman, melainkan alat pengucapansyukur. Kesadaran akan ketidaksempurnaan kita akan menjaga hati kita tetap waspada dari "Lucifer syndrome" & sikap membenarkan diri yang dimiliki oleh orang-orang Farisi pada zaman Yesus.

Kita tidak boleh kehilangan kesempatan untuk menikmati anugerah Allah hanya karena terlalu terpukul oleh ketidaksempurnaan kita. Ketidaksempurnaan kita merupakan "panggung" (stage) untuk Allah melakukan "performance." Ia hendak meyakinkan kepada siapapun yang kita pimpin, jika Allah sanggup mengubahkan kita, Allah yang sama juga sanggup mengubahkan mereka.

Rabu, 17 April 2013

THE HARDWORK OF REST: Find Your Quality of Rest to Build Your Spiritual Strength

Seminggu yang lalu saya membeli buku berjudul "The Hardwork of Rest" bersama sekumpulan buku lainnya yang sedang diskon. Tak disangka beberapa hari kemudian saya sungguh membutuhkannya. Minggu 14 April 2013, saya berkhotbah tentang "The Privilege of Suffering" di Citygate Sunday Service. Sebuah message yang saya sudah saya persiapkan sejak 1 bulan sebelumnya. Saya menyampaikannya dengan sangat bersemangat. Setelah ibadah, kami pergi "lunch" di Plaza Senayan. Ketika itulah saya merasa kurang sehat. Setelah beberapa minggu full dengan berbagai aktifitas, akhirnya saya ambruk juga.

Selama 4 hari berturut-turut saya tidak ke mana-mana. Memang sempat merasa bosan. Tapi di saat seperti ini biasanya Allah hendak berbicara.

Saya membaca buku "The Hardwork of Rest" persis ketika saya sakit. Buku tersebut aungguh mengajar & mengkoreksi kehidupan saya. Pada pelatihan True Successful Motivation (TSM) bersama Ps. Johny Kilapong bulan lalu, kami membahas 7 roda kesuksesan. 7 Roda tersebut ialah: Family, Health, Education, Financial, Social, Ministry/Work & Spirituality/Character. Kala itu saya menyadari bahwa area Health saya sangat berpotensi menimbulkan masalah dengan pola makan & pola istirahat yang tidak teratur. Saya baru menyadari kualitas istirahat yang saya miliki kurang maksimal.

Istirahat (rest) tidak bertentangan dengan bekerja (work). Allah mengatur bumi dengan menciptakan siang & malam untuk membuat kesimbangan antara bekerja (work) & beristirahat (rest). Kualitas & kuantitas istirahat kita menentukan kemampuan produktifitas kita. Bahkan di dalam Allah memberi perintah untuk memelihara hari Sabat, sebagai hari beristirahat bagi orang Yahudi.

Ada orang yang pernah berkata bahwa "Iblis tidak pernah libur." Mungkin hal tersebut benar. Tetapi Allah beristirahat pada hari ketujuh setelah Ia menciptakan bumi & segala isinya. Saya percaya, Allah beristirahat bukan karena Ia lelah (kecapekan). Di dalam hari ketujuh, Allah menikmati segala yang Ia ciptakan.

Ketika kita harus bekerja dengan rajin & excellent, menghasilkan banyak hal yang luar biasa, mengalami promosi, penambahan fasilitas serta kenaikan gaji, jangan sampai kita tidak memiliki kuasa menikmatinya hanya karena kita tidak memiliki waktu beristirahat.

Allah bukan berhenti pada hari ketujuh, Ia bahkan menguduskannya.

Namun ada juga orang yang menggunakan pemahaman tentang istirahat ini untuk bermalas-malasan. Lalu apa bedanya kemalasan (laziness) dengan istirahat (rest). Malas ialah ketika kita beristirahat sebelum kita merasa lelah. Beristirahat pada waktu yang salah dapat menjadi sebuah kemalasan.

Saya mendapat pelajaran yang sangat penting tentang istirahat yang berkualitas. Saat saya meluangkan waktu 4 hari ini untuk beristirahat, saya merasa roh saya mengalami kesegaran. Telinga rohani pun menjadi lebih tajam untuk mendengar suaraNya.

Judul buku tersebut ternyata benar (The Hardwork of Rest),  kadang dibutuhkan kerja keras untuk dapat beristirahat dengan benar. Manusia modern telah begitu dikuasai oleh jadwal & kesibukan, sehingga berbagai masalah psikologis & fisik makin meningkat.

Setiap level kehidupan yang baru menuntut perubahan cara hidup. Kiranya dengan terus menjaga keseimbangan antara bekerja & beristirahat, saya dapat terus berjalan menggenapi panggilan Allah di waktu-waktu ke depan. Fighting!



Kamis, 21 Maret 2013

2013: The Year of Spiritual Leadership

Saya memberi tema tahun ini (2013) sebagai "the year of spiritual leadership." Segala sesuatu tentang kepemimpinan saya sedang diuji. Pelajaran-pelajaran kepemimpinan yang saya pelajari selama bertahun-tahun terasa lebih hidup. Saya semakin menyadari mengapa setiap orang harus belajar tentang kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan salah satu panggilan dan fungsi setiap orang dalam kehidupan.

Dalam buku "The Spirit of Leadership," Dr. Myles Munroe pernah berkata bahwa kepemimpinan bukan sekedar posisi, melainkan memanifestasikan roh yang ada di dalam kita." Sejak awal penciptaan, Tuhan menciptakan manusia supaya kita dapat "berkuasa, menguasai dan menaklukkan." Sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, kata "berkuasa, menguasai dan menaklukkan" memiliki arti memaksimalkan. Setelah kejatuhan, ketiga kata tersebut memiliki arti negatif. Manusia dikuasai hawa nafsu dan berbagai keinginan lain yang tidak selaras dengan kehendak Allah. Sebagai akibatnya, panggilan kepemimpinan manusia menjadi terdistorsi. Kepemimpinan kerap kali dihubungkan dengan praktek manipulasi, kelicikan, mencari keuntungan demi kepentingan pribadi, penyalahgunaan kekuasaan.

Kepemimpinan secara umum berbeda dengan kepemimpinan rohani (spiritual leadership). Kepemimpinan rohani bergantung sepenuhnya kepada Allah dan hukum-hukum rohani. Keputusan diambil bukan sekedar berdasarkan pertimbangan manusiawi. Melainkan menggumuli kehendak Allah atas sebuah kelompok atau organisasi dan mempengaruhi mereka semua untuk melakukan kehendak Allah.

Yang dimaksud "spiritual leader" bukan hanya orang-orang yang memegang posisi kepemimpinan dalam gereja atau dunia pelayanan. Melainkan semua orang yang menyambut panggilan kepemimpinan dalam setiap bidang kehidupan dan bersedia berfungsi sesuai dengan hukum-hukum rohani untuk mengerjakan tujuan-tujuan Allah.

Kapasitas seorang pemimpin sangat ditentukan ketika saat-saat krisis terjadi. Bagaimana para pemimpin tersebut bersedia mengambil tanggungjawab dan melakukan perubahan ke arah yang benar untuk membawa sebuah kelumpok atau organisasi keluar dari krisis tersebut dengan keadaan yang jauh lebih baik. Ketika semua orang takut karena krisis yang terjadi, seorang pemimpin menjadi tumpuan bagi banyak orang. Seakan-akan semua orang ingin berkata bahwa "seorang pemimpin tidak boleh takut." Sebagai manusia, tentunya seorang pemimpin tidak bebas dari rasa takut. Hanya saja, sebagai seorang pemimpin ia harus mengembangkan jiwa yang matang dan dewasa sehingga lahir hati yang mau berkorban sehingga hati tersebut memberikan keberanian untuk berdiri di garis depan ketika tantangan datang menyerang.

Sebagai seorang pemimpin, kita harus pandai-pandai mengisi bahan bakar emosional kita. Tanggungjawab dan tugas kepemimpinan sangat menguras energi emosional kita. Tuntutan yang tinggi, bahkan terkadang tidak realistis datang dari orang-orang di sekeliling kita. Perkataan-perkataan yang menyudutkan, mempertanyakan dan menghakimi mungkin datang lebih banyak daripada kata-kata yang memberikan dukungan dan kekuatan. Namun, kita tidak bisa menghindari hal tersebut dalam kepemimpinan. Dibutuhkan seorang pemimpin dengan gambar diri yang sehat untuk membuat perubahan, mempengaruhi orang lain dan terus bertumbuh di tengah segala masalah yang sedang dihadapinya. Pemimpin yang membiarkan kekecewaan dan tawar hati menyergap dirinya terlalu lama, akan menyebabkan banyak orang di sekelilingnya mengalami kerugian.

Ketika saya menyadari bahwa tahun 2013 ini merupakan "The Year of Spiritual Leadership" bagi saya, di saat yang sama saya menyadari kebutuhan untuk memperbaiki kepemimpinan saya.Dengan jujur saya ingin mengatakan bahwa waktu-waktu ini seperti waktu akil baliq bagi kepemimpinan saya. Masa-masa transisi sedang terjadi. Kapal harus menyesuaikan arah. Komitmen saya ditantang lebih lagi. Saya harus mengabaikan gangguan-gangguan kecil dan mengarahkan diri untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih esensi. Kekuatan fokus harus terus dibangun agar hasil yang nyata terus terlihat. Waktu-waktu yang ada harus terus digunakan untuk membangun hubungan dan mengembangkan "network" untuk sebuah visi yang besar di masa depan.

Kesimpulanya, kepemimpinan tidak semudah apa yang ditulis dalam buku-buku kepemimpinan. Kepemimpinan adalah bagaimana kita bertindak dan bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan tersebut. Cara paling ampuh untuk mengalahkan ketakutan ialah dengan cara bertindak. Ketika kita mulai bertindak, kita akan menjadi lebih percaya diri. Ketakutan akan mulai hilang. Kita membayar untuk mendapatkan sebuah pengalaman. Jika kita melakukan kesalahan, segera lakukan evaluasi. Kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi orang lain melalui hubungan dan menjadi produktif.

 

Rabu, 06 Februari 2013

TAKUT MENJALANI HIDUP YANG BIASA-BIASA

Sudah seminggu ini saya merasakan ketakutan hingga hari ini, hari ulang tahun saya. Seminggu yang lalu seorang sahabat bertanya kepada saya: "Minggu depan loe ulang tahun ya?" Lalu saya menjawab: "Iya, tapi gue merasa ada beban. Sepertinya belum melakukan banyak hal bagi Tuhan."

Ketakutan terbesar saya hari ini ialah: saya takut bahwa saya sedang menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Semua ada dalam jangkauan kendali saya. Segalanya sangat teratur & bisa diprediksi. Tidak perlu ada kejutan atau kabar buruk di saat saya sedang merasa tidak siap.

Hari ini saya berketetapan hati untuk menjalani kehidupan yang "lebih dari biasanya." Mempergunakan waktu yang ada & mengisinya dengan melakukan kehendak Tuhan. "Kehendak Tuhan" seharusnya mudah dipahami. Bukankah Tuhan ingin kita melakukan kehendakNya? Ia pasti berkepentingan untuk memberitahukan kehendakNya kepada kita!

Yang membuat kehendak Tuhan menjadi sulit kita ketahui ialah: kedagingan kita. Semakin kita bertumbuh di dalam kedagingan, semakin sulit kita mengerti kehendak Tuhan. Bukan karena kehendak tersebut tidak diberitahukan oleh Tuhan, melainkan karena kita tidak dapat memahami kehendak Tuhan dengan "daging" kita. Semakin kita mengizinkan diri kita mengalami kematian daging, semakin kita dekat dengan kehendak Tuhan.

Untuk hidup di dalam kehendak Tuhan, kita harus hidup di dalam Roh bukan hidup di dalam daging. Berjalan di dalam Roh adalah suatu tuntutan mutlak bagi semua orang percaya. Inilah kehidupan Kristen yang normal, yaitu: berjalan di dalam Roh setiap hari.

Pelajaran "penyerahan diri" (surrender) merupakan pelajaran rohani yang sulit. Kita dituntun untuk mengalami kematian daging setiap hari. Tidak ada saat di dalam hari-hari kita, di mana kita tidak membutuhkan "penyerahan diri." Setiap saat kita membutuhkan penyerahan diri. Penyerahan diri telah menjadi sebuah kebutuhan rohani bagi semua orang. Tanpa penyerahan diri kita tidak akan pernah mengalami Allah dalam dimensi yang lebih besar. Tidak mungkin seseorang dalam berjalan di dalam iman, jika ia tidak memulainya dengan memiliki penyerahan diri.

Syarat untuk mengalami kemenangan di dalam hidup ialah: mengalami kekalahan. Kita harus memberi diri untuk "dikalahkan oleh Allah" sebelum akhirnya kita mengalami kemenangan-kemenangan bersama Dia. Kehidupan Kristen bukan tentang bagaimana semua yang kita inginkan terwujud, melainkan bagaimana semua yang Allah inginkan tergenapi dalam hidup kita.

Ketakutan saya untuk menjalani hidup yang biasa-biasa mendorong saya untuk masuk ke dalam penyerahan diri. Memberi diri dikalahkan oleh Allah, supaya seluruh kehendakNya terjadi dalam hidup saya. Kita tidak selalu mengerti kehendak Allah, namun kehendak Allah selalu yang terbaik buat kita.

Senin, 28 Januari 2013

KOREKSI, MEMBANGUN HUBUNGAN & REPUTASI

Salah satu bentuk kemalasan yang paling berbahaya ialah: malas mengkoreksi apa yang kita yakini tentang sesuatu & bagaimana kita melakukan sesuatu. Kepemimpinan yang efektif membutuhkan "self-correction" terus-menerus. Kemalasan untuk melakukan koreksi dapat menghasilkan stagnasi dalam segala hal.

"Koreksi" adalah kata yang sangat menakutkan bagi kebanyakan orang. Kita berusaha keras menghindarinya. Hanya menginginkan pujian tanpa mengharapkan koreksi, tidak akan membuat kepemimpinan bertumbuh. Kepemimpinan sangat identik dengan perubahan. Agar sebuah perubahan menjadi efektif & memiliki hasil yang positif, diperlukan tindakan koreksi yang dilakukan dengan benar.

Namun hal yang seringkali kita lupa sebelum melakukan koreksi ialah: mengembangkan kualitas hubungan. Tanpa kualitas hubungan yang baik, perubahan akan selalu menciptakan goncangan & rasa tidak aman. Keterampilan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin ialah: keterampilan untuk membangun hubungan. Ada banyak hal besar & sulit yang dapat seorang pemimpin lakukan, jika ia memiliki kualitas hubungan & reputasi yang baik.

Untuk membangun kualitas hubungan & reputasi yang baik, dibutuhkan usaha & inisiatif. Kualitas hubungan & reputasi yang baik tidak datang dengan sendirinya. Kita perlu secara aktif membangunnya. Mulailah membangun hubungan yang baik dengan orang-orang yang sulit (difficult people). Jangan selalu melihat keberadaan "orang-orang yang sulit ini" (difficult people) sebagai musuh yang harus dikalahkan & disingkirkan. Milikilah kemampuan untuk "mengubah lawan menjadi kawan."

Kepemimpinan ialah tentang membangun hubungan dengan orang-orang yang sulit tanpa harus mengkompromikan prinsip kebenaran. Dengan mengembangkan hubungan dengan orang-orang yang sulit (difficult people), kapasitas & pengaruh kepemimpinan kita akan berkembang semakin besar.

Selasa, 27 Agustus 2013

Salah satu penyebab mengapa kita takut berubah, karena kita takut salah berubah. Kita tidak ingin berubah menjadi "lebih buruk." Semua orang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Sebelum masuk kepada perubahan, pertama-tama kita harus menetapkan "mata uang " apa yang kita gunakan untuk menilai perubahan tersebut. What is your currency?

Menjadi lebih baik... menurut ukuran siapa? Tuhan atau manusia?

Manusia memiliki kecenderungan untuk menilai segala sesuatu dari kaca mata "kedagingan." 1 Yohanes 2:15 menjabarkannya sebagai "keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup." Dengan bahasa lain saya coba mengubah ketiga hal tersebut menjadi: keinginan untuk memiliki, keinginan untuk melakukan dan keinginan untuk menjadi.

Kekristenan hari-hari ini terus diwarnai oleh pesan-pesan yang bernafaskan individualisme & humanisme. Ketika gereja kehilangan kedalamannya, dan beroperasi hanya berdasarkan kedangkalannya, maka kita akan terus "kebobolan" dengan arus pengajaran yang masuk tanpa filter di dalam Tubuh Kristus, dan beberapa orang mengklaimnya sebagai "pewahyuan" atau "kebenaran Allah."

Jika kita tidak mengkoreksi cara berpikir kita, menyerang motif-motif kita dan dengan jujur memikirkan ulang serta mendefinisikan ulang iman kita, kita akan selalu menafsirkan ayat-ayat firman Tuhan dari kacamata kedagingan & kebutuhan kita. Usaha mencocok-cocokan ayat firman Tuhan untuk mencari "approval" (persetujuan) & dukungan harus dihentikan.

Gereja harus masuk pada pertobatan motivasional, yaitu bertobat dari motivasi-motivasi yang salah. Pdt. Jonathan Pattiasina pernah berkata: "Beda motivasi, beda hasil akhir (high-end)!"

Gereja harus bergerak dalam roh pioneer untuk berani menggali kebenaran yang didasari oleh rasa hormat akan Tuhan, menjunjung tinggi kehendak Allah di atas kebutuhan manusia, menyerang motivasi hati yang salah, sehingga kita akan menemukan pewahyuan yang lahir dengan kedalaman yang berbeda.

Awal tahun ini, saya sempat merasa jenuh membaca Alkitab. Bukan karena saya tidak mencintai Firman Allah yang begitu luar biasa, tetapi saya seperti tidak menemukan pengertian baru dari ayat-ayat yang saya baca. Saya telah mendisplin diri untuk membaca Alkitab hingga habis dari Kejadian sampai Wahyu. Saya telah memberi tanda dengan stabilo atau menggarisbawahi ayat-ayat penting di dalam Alkitab sehingga Alkitab saya sudah sepertti buku gambar yang berwarna-warni. Saya merasa telah memiliki "presoposisi" terhadap ayat-ayat yang saya baca. Saya seperti sudah memiliki pengetahuan dan interpretasi tertentu terhadap ayat-ayat yang saya baca. Saya mencoba cara lain dengan sesering mungkin membuka alkitab terjemahan bahasa Inggris. Namun tidak seampuh yang saya harapkan.

Tahun ini saya mengalami proses perubahan kacamata. Mungkin saya lebih suka dengan istilah "currency" (mata uang). Ketika saya menilai kehidupan dengan "currency" (mata uang) yang berbeda (mata uang Kerajaan Allah), maka tiba-tiba saja Alkitab seperti sesuatu yang baru bagi saya. Saya kembali membuka beberapa buku teologia dan membacanya secara acak untuk membantu saya menggali bagian-bagian Akitab tertentu. Suatu malam saya terdorong untuk membaca sebuah buku berjudul Teologia Perjanjian Baru jilid 1 yang ditulis oleh George Eldon Ladd. Saya membacanya secara acak, langsung pada bagian-bagian yang menarik perhatian saya. Pikiran saya menerawang ketika apa yang saya baca, membantu saya memahami pola pikir orang Yahudi pada zaman PB ditulis.

Kemarin saya terusik dalam saat teduh saya, karena saya tidak mengerti isi kitab Tawarikh. Saya merasa kumpulan cerita di dalam kitab tersebut sudah sering saya dengar. Pagi itu saya memutuskan untuk mencari tahu latar belakang penulisan kitab Tawarikh. Tiba-tba saja pikiran saya terbuka. Saya melihat kitab tersebut dari maksud dan tujuan penulisannya. Salah satu buku yang memicu saya untuk menggali Alkitab lebih lagi ialah: The Bible Jesus Read yang ditulis oleh Philip Yancey. Saya pernah membaca buku ini waktu saya masih kuliah. 2 hari yang lalu, saya membaca kembali buku tersebut dengan penuh rasa ingin tahu akan kitab-kitab yang dibahas di sana.

Mengenal Tuhan merupakan sebuah proses yang membutuhkan kerajinan di dalamnya. Kita tidak bisa mengenal Tuhan hanya dengan bermalas-malasan & berharap Tuhan akan menyingkapkan segala sesuatunya kepada kita. Kita harus berdoa dengan rajin, mencari dengan tekun, bertanya dengan berani, membayar harga untuk menemukan kebenaran yang kekal.

Semakin saya membaca firman Tuhan, semakin saya kagum akan isinya. Masih ada banyak hal yang tidak saya mengerti. Namun ketidakmengertian tersebut, justru membuat saya semakin mencintai firman Tuhan dan rela membayar harga untuk mengerti kehendakNya yang terdalam.


Kamis, 25 Juli 2013

Beberapa waktu terakhir ini, Tuhan sering mengingatkan saya akan sebuah pesan yang berbunyi: "Menjadi gereja (orang Kristen) yang bertindak!" Suatu ketika saya merasa capek melayani konseling, konsultasi, mengajar, mementor dan menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang Kristen. Sepertinya telah muncul sebuah trend kekristenan di mana orang-orang kristen "kecanduan pewahyuan baru" atau "kecanduan materi pengajaran terbaru." Banyak orang Kristen hanya hobi mendengar & mengumpulkan pewahyuan. Apa yang mereka pelajari hanya menjadi sebuah wacana tanpa kemampuan & kemauan untuk mengimplementasikannya.

Pesan kitab Yakobus tentang "menjadi pelaku firman" tiba-tiba saja menjadi hidup, Saya teringat perkataan seorang hamba Tuhan yang mengatakan bahwa salah satu penyebab banyak hamba Tuhan jatuh ialah karena mereka membaca firman untuk mereka khotbahkan bukan untuk mereka hidupi.

Kita hanya akan memiliki pewahyuan yang kita hidupi, bukan pewahyuan yang hanya kita dengar. Kita tahu dengan cara mendengar, namun kita memahami dengan cara melakukan. Semakin sering dan semakin banyak kita melakukan kebenaran, maka akan semakin dalam pemahaman kita akan kebenaran tersebut.

Tahun ini, Allah memberkati saya dengan mentor-mentor yang luar biasa. Hamba-hamba Tuhan yang luar biasa ini bersedia meluangkan waktunya untuk mengajar dan memuridkan saya. Sesi-sesi pemuridan bersama mereka sungguh luar biasa. Saya banyak mencatat hal-hal yang sangat berharga. Namun tiba-tiba saja saya menyadari bahwa saya memiliki banyak PR untuk dikerjakan. Apa yang saya catat bukanlah sekumpulan materi yang akan menjadi bahan khotbah saya nanti, melainkan sekumpulan pelajaran yang harus saya hidupi.

John C. Maxwell pernah berkata: "Jika anda tidak persiapan, anda pasti akan selalu ketahuan." Saya menyadari pentingnya kebenaran ini. Jika saya tidak menghidupi apa yang diajarkan kepada saya, suatu hari saya pasti akan ketahuan. Tantangan-tantangan yang akan saya alami di kemudian hari akan menyingkapkan sejauh mana saya telah menghidupi kebenaran.

Ketika Roh Kudus memberikan teguran, saya harus memaksa diri untuk tidak menunda langkah ketaatan yang IA tuntut dari saya. Menunda ketaatan sama dengan tidak taat. "Menjadi orang Kristen atau gereja yang bertindak" menjadi pesan yang beberapa minggu ini terus saya sampaikan kepada jemaat/komunitas yang saya pimpin.

Untuk melihat komunitas ini bertumbuh, saya harus terus mendorong mereka untuk terus bertindak. Jangan hanya sekedar mengagumi khotbah-khotbah yang bagus tapi tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang taat.

Pelajaran ini menjadi sebuah perenungan yang dalam bagi saya. Dengan sangat tepaksa saya harus memasang rambu untuk mengingatkan saya akan pesan ini. Saya telah bertemu dengan para pemikir dan ide-ide hebat. Namun ide luar biasa yang hanya dibicarakan adalah ide yang tidak berguna. Ubahlah perkataan-perkataan kita menjadi tindakan, sehingga tindakan ketaatan kita menghasilkan kita lebih banyak pengalaman rohani, di mana pengalaman-pengalaman rohani tersebut akan membentuk kehidupan emosi kita menjadi rohani.



Rabu, 22 Mei 2013

Banyak orang marah dan takut jika mereka merasa dihakimi oleh orang lain. Tidak selamanya kita bisa menghindar dari penghakiman orang lain. Firman Tuhan memang melarang kita untuk menghakimi, tetapi kita tidak bisa mencegah orang lain menghakimi kita. Apa yang dapat kita lakukan ialah hiduplah sedemikian rupa sehingga penghakiman orang atas hidup kita terbukti salah. TRUTH TAKES TIME! Itulah yang Roh Kudus ajarkan kepada saya.

Setiap orang berhak menilai orang lain. Menilai merupakan bagian dari membuat keputusan atau pilihan. Jangan takut hidup kita dinilai orang lain. Menerima penilaian orang lain merupakan bagian dari kehidupan. Jangan takut dengan kenyataan bahwa kita tidak sempurna. Takutlah jika kita sudah merasa terlalu sempurna. Jangan minta maaf karena kita tidak sempurna. Justru kita harus meminta maaf jika kita terlalu merasa sempurna sehingga memandang rendah orang lain.

Menghakimi berarti menilai dengan sikap hati yang salah. Yang membedakan antara menghakimi dan menilai ialah sikap hati kita. Sikap hati kita menentukan bagaimana kita memandang sesuatu. Perikop hal menghakimi yang terdapat di dalam Matius 7 memberikan kita gambaran bahwa jika hati kita nggak bener, kita akan melihat hal-hal yang sebenarnya tidak pada diri seseorang.

Kita menilai untuk memperbaiki. Kita menghakimi untuk menghancurkan. Kedua hal tersebut mirip, namun dampaknya berbeda.

Sebagai pemimpin rohani kita harus memiliki kemampuan untuk menilai secara tajam & rohani, di mana penilaian kita didasari oleh standard firman Allah, maksud & tujuan yang baik, serta cara-cara yang berada di bawah kendali Roh Kudus.

Sikap menghakimi dapat merupakan racun dalam praktek kepemimpinan rohani. Pada umumnya penghakiman merupakan produk dari hati yang terluka. Kekecewaan, kepahitan & kemarahan dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang suka menghakimi. Menghakimi selalu berfokus pada menemukan kesalahan, meskipun ketika kesalahan tersebut tidak ada. Menilai berarti menemukan kesalahan sekaligus kebenaran, kelemahan sekaligus kelebihan, potensi masalah sekaligus potensi jalan keluar di dalam diri seseorang.

Kebiasaan menghakimi dapat menghancurkan kualitas-kualitas hubungan yang kita miliki. Jangan bawa sikap menghakimi dalam pernikahan, parenting, kepemimpinan, pelayanan, pekerjaan atau persahabatan kita. Kita boleh menilai, tapi jangan menghakimi. Pastikan hati kita selalu berada dalam kondisi yang baik pada saat memberikan penilaian.

Jangan berhenti menilai hanya karena takut dibilang "menghakimi." Penilaian yang baik akan membawa kita pada kemajuan.

Ada banyak orang Kristen yang berhenti melakukan apa yang seharusnya hanya karena takut dihakimi oleh orang lain. Pengalaman traumatis tersebut seharusnya tidak boleh menghalangi kita berjalan di dalam ketaatan.

Jika saya berhenti setiap kali saya merasa dihakimi, maka pekerjaan Allah tidak akan pernah selesai. Teruslah melangkah bersama Allah dengan sikap terbuka terhadap koreksi. Terkadang penghakiman-penghakiman keras yang kita terima, berisi pesan-pesan yang dapat menyelamatkan kita dari kehancuran. Hanya karena caranya salah, kita menolak pesan yang sebenanya kita butuhkan untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.

Jangan takut dengan penghakiman. Jadilah orang yang tetap fokus pada kehendak Allah bukan pada perasaan!


Jika kesempurnaan merupakan prasyarat untuk menjadi seorang pemimpin rohani, maka tidak akan ada orang yang memenuhi syarat. Rohani berbeda dengan Agamawi. Rohani berarti: dikuasai / dikendalikan oleh Roh Kudus.

Salah satu hal paling sulit yang menjadi tantangan hidup berkomunitas ialah menerima & memahami ketidaksempurnaan pemimpin. Ketidaksempurnaan seringkali menjadi sumber kekecewaan & perpecahan dalam jemaat. Sejak pertama kali mengemban tugas, para pemmpin rohani seringkali menerima beban psikologis yang begitu berat berupa penilaian jemaat. Gerak-gerik pemimpin rohani diawasi. Tidak heran jika ada pemimpin-pemimpin rohani yang terpaksa menutup account facebook-nya, untuk melindungi diri dari pandangan-pandangan negatif yang ditujukan orang-orang akibat ketidaksempurnaannya.

Diawal pelayanan saya sebagai seorang yang masih sangat muda, saya sering mengeluh tentang ketidaksempurnaan para pemimpin rohani yang saya tahu. Berita-berita ketidaksempurnaan mereka begitu mudah menyulut amarah saya untuk mulai mengadili mereka dalam beberapa percakapan dengan orang-orang tertentu.

TUHAN membawa perjalanan saya begitu jauh sehingga saya menjadi salah seorang yang menerima tanggungjawab sebagai seorang pemimpin rohani yang memimpin sebuah gereja lokal. Gereja komunitas tidak memberi tempat untuk kita sembunyi. Dalam hubungan jarak dekat, berbagai kelemahan saya dengan sangat mudah diketahui oleh orang lain. Mereka adalah orang-orang yang saya pimpin. Beberapa berusia lebih tua dari saya. Beberapa telah menjadi teman di masa sekolah. Kadang saya berpikir, alangkah sulitnya bagi mereka untuk mengakui saya sebagai "pemimpin rohani" mereka. Sepertinya lebih mudah bagi mereka menemukan seorang pemimpin yang memiliki nama besar, lebih hebat, lebih berkarisma & memiliki kemampuan yang sudah diakui oleh banyak pemimpin lainnya.

Merenungkan hal ini membuat saya tidak berhenti mengucapsyukur untuk sekumpulan orang yang selalu saya temui setiap minggu. Orang-orang menyebut mereka "jemaat." Saya lebih suka menyebut mereka "keluarga." Penerimaan mereka di tahun-tahun kepemimpinan saya yang penuh dengan ketidaksempurnaan, itulah yang mendewasakan saya.

Setiap hari saya belajar dengan keras, membaca buku, mengikuti pelatihan dan pemuridan/mentoring, mendengarkan CD atau DVD khotbah, untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepada saya untuk memimpin orang-orang penting tersebut. Sebelum kita menganggap penting orang-orang yang kita pimpin, kita tidak akan dapat berjalan lebih jauh bersama dengan mereka.

Tahun-tahun perjalanan kepemimpinan yang saya lalui, lebih banyak menyingkapkan kelemahan saya daripada menunjukkan kehebatan saya. Apa yang berat dari proses pembentukan seorang pemimpin rohani bukanlah ketika mereka harus mempersiapkan & membagikan 6 buah khtbah dalam 2 hari, melainkan bagaimana mereka bisa mengakui & menerima ketidaksempurnaan mereka serta terus berjalan maju untuk menikmati anugerah Allah yang sempurna.

Mata yang diubahkan oleh kasih karunia akan mengubah cara kita memandang ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan kita bukankah sebuah ancaman, melainkan alat pengucapansyukur. Kesadaran akan ketidaksempurnaan kita akan menjaga hati kita tetap waspada dari "Lucifer syndrome" & sikap membenarkan diri yang dimiliki oleh orang-orang Farisi pada zaman Yesus.

Kita tidak boleh kehilangan kesempatan untuk menikmati anugerah Allah hanya karena terlalu terpukul oleh ketidaksempurnaan kita. Ketidaksempurnaan kita merupakan "panggung" (stage) untuk Allah melakukan "performance." Ia hendak meyakinkan kepada siapapun yang kita pimpin, jika Allah sanggup mengubahkan kita, Allah yang sama juga sanggup mengubahkan mereka.

Rabu, 17 April 2013

Seminggu yang lalu saya membeli buku berjudul "The Hardwork of Rest" bersama sekumpulan buku lainnya yang sedang diskon. Tak disangka beberapa hari kemudian saya sungguh membutuhkannya. Minggu 14 April 2013, saya berkhotbah tentang "The Privilege of Suffering" di Citygate Sunday Service. Sebuah message yang saya sudah saya persiapkan sejak 1 bulan sebelumnya. Saya menyampaikannya dengan sangat bersemangat. Setelah ibadah, kami pergi "lunch" di Plaza Senayan. Ketika itulah saya merasa kurang sehat. Setelah beberapa minggu full dengan berbagai aktifitas, akhirnya saya ambruk juga.


Selama 4 hari berturut-turut saya tidak ke mana-mana. Memang sempat merasa bosan. Tapi di saat seperti ini biasanya Allah hendak berbicara.

Saya membaca buku "The Hardwork of Rest" persis ketika saya sakit. Buku tersebut aungguh mengajar & mengkoreksi kehidupan saya. Pada pelatihan True Successful Motivation (TSM) bersama Ps. Johny Kilapong bulan lalu, kami membahas 7 roda kesuksesan. 7 Roda tersebut ialah: Family, Health, Education, Financial, Social, Ministry/Work & Spirituality/Character. Kala itu saya menyadari bahwa area Health saya sangat berpotensi menimbulkan masalah dengan pola makan & pola istirahat yang tidak teratur. Saya baru menyadari kualitas istirahat yang saya miliki kurang maksimal.

Istirahat (rest) tidak bertentangan dengan bekerja (work). Allah mengatur bumi dengan menciptakan siang & malam untuk membuat kesimbangan antara bekerja (work) & beristirahat (rest). Kualitas & kuantitas istirahat kita menentukan kemampuan produktifitas kita. Bahkan di dalam Allah memberi perintah untuk memelihara hari Sabat, sebagai hari beristirahat bagi orang Yahudi.

Ada orang yang pernah berkata bahwa "Iblis tidak pernah libur." Mungkin hal tersebut benar. Tetapi Allah beristirahat pada hari ketujuh setelah Ia menciptakan bumi & segala isinya. Saya percaya, Allah beristirahat bukan karena Ia lelah (kecapekan). Di dalam hari ketujuh, Allah menikmati segala yang Ia ciptakan.

Ketika kita harus bekerja dengan rajin & excellent, menghasilkan banyak hal yang luar biasa, mengalami promosi, penambahan fasilitas serta kenaikan gaji, jangan sampai kita tidak memiliki kuasa menikmatinya hanya karena kita tidak memiliki waktu beristirahat.

Allah bukan berhenti pada hari ketujuh, Ia bahkan menguduskannya.

Namun ada juga orang yang menggunakan pemahaman tentang istirahat ini untuk bermalas-malasan. Lalu apa bedanya kemalasan (laziness) dengan istirahat (rest). Malas ialah ketika kita beristirahat sebelum kita merasa lelah. Beristirahat pada waktu yang salah dapat menjadi sebuah kemalasan.

Saya mendapat pelajaran yang sangat penting tentang istirahat yang berkualitas. Saat saya meluangkan waktu 4 hari ini untuk beristirahat, saya merasa roh saya mengalami kesegaran. Telinga rohani pun menjadi lebih tajam untuk mendengar suaraNya.

Judul buku tersebut ternyata benar (The Hardwork of Rest),  kadang dibutuhkan kerja keras untuk dapat beristirahat dengan benar. Manusia modern telah begitu dikuasai oleh jadwal & kesibukan, sehingga berbagai masalah psikologis & fisik makin meningkat.

Setiap level kehidupan yang baru menuntut perubahan cara hidup. Kiranya dengan terus menjaga keseimbangan antara bekerja & beristirahat, saya dapat terus berjalan menggenapi panggilan Allah di waktu-waktu ke depan. Fighting!



Kamis, 21 Maret 2013

Saya memberi tema tahun ini (2013) sebagai "the year of spiritual leadership." Segala sesuatu tentang kepemimpinan saya sedang diuji. Pelajaran-pelajaran kepemimpinan yang saya pelajari selama bertahun-tahun terasa lebih hidup. Saya semakin menyadari mengapa setiap orang harus belajar tentang kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan salah satu panggilan dan fungsi setiap orang dalam kehidupan.

Dalam buku "The Spirit of Leadership," Dr. Myles Munroe pernah berkata bahwa kepemimpinan bukan sekedar posisi, melainkan memanifestasikan roh yang ada di dalam kita." Sejak awal penciptaan, Tuhan menciptakan manusia supaya kita dapat "berkuasa, menguasai dan menaklukkan." Sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, kata "berkuasa, menguasai dan menaklukkan" memiliki arti memaksimalkan. Setelah kejatuhan, ketiga kata tersebut memiliki arti negatif. Manusia dikuasai hawa nafsu dan berbagai keinginan lain yang tidak selaras dengan kehendak Allah. Sebagai akibatnya, panggilan kepemimpinan manusia menjadi terdistorsi. Kepemimpinan kerap kali dihubungkan dengan praktek manipulasi, kelicikan, mencari keuntungan demi kepentingan pribadi, penyalahgunaan kekuasaan.

Kepemimpinan secara umum berbeda dengan kepemimpinan rohani (spiritual leadership). Kepemimpinan rohani bergantung sepenuhnya kepada Allah dan hukum-hukum rohani. Keputusan diambil bukan sekedar berdasarkan pertimbangan manusiawi. Melainkan menggumuli kehendak Allah atas sebuah kelompok atau organisasi dan mempengaruhi mereka semua untuk melakukan kehendak Allah.

Yang dimaksud "spiritual leader" bukan hanya orang-orang yang memegang posisi kepemimpinan dalam gereja atau dunia pelayanan. Melainkan semua orang yang menyambut panggilan kepemimpinan dalam setiap bidang kehidupan dan bersedia berfungsi sesuai dengan hukum-hukum rohani untuk mengerjakan tujuan-tujuan Allah.

Kapasitas seorang pemimpin sangat ditentukan ketika saat-saat krisis terjadi. Bagaimana para pemimpin tersebut bersedia mengambil tanggungjawab dan melakukan perubahan ke arah yang benar untuk membawa sebuah kelumpok atau organisasi keluar dari krisis tersebut dengan keadaan yang jauh lebih baik. Ketika semua orang takut karena krisis yang terjadi, seorang pemimpin menjadi tumpuan bagi banyak orang. Seakan-akan semua orang ingin berkata bahwa "seorang pemimpin tidak boleh takut." Sebagai manusia, tentunya seorang pemimpin tidak bebas dari rasa takut. Hanya saja, sebagai seorang pemimpin ia harus mengembangkan jiwa yang matang dan dewasa sehingga lahir hati yang mau berkorban sehingga hati tersebut memberikan keberanian untuk berdiri di garis depan ketika tantangan datang menyerang.

Sebagai seorang pemimpin, kita harus pandai-pandai mengisi bahan bakar emosional kita. Tanggungjawab dan tugas kepemimpinan sangat menguras energi emosional kita. Tuntutan yang tinggi, bahkan terkadang tidak realistis datang dari orang-orang di sekeliling kita. Perkataan-perkataan yang menyudutkan, mempertanyakan dan menghakimi mungkin datang lebih banyak daripada kata-kata yang memberikan dukungan dan kekuatan. Namun, kita tidak bisa menghindari hal tersebut dalam kepemimpinan. Dibutuhkan seorang pemimpin dengan gambar diri yang sehat untuk membuat perubahan, mempengaruhi orang lain dan terus bertumbuh di tengah segala masalah yang sedang dihadapinya. Pemimpin yang membiarkan kekecewaan dan tawar hati menyergap dirinya terlalu lama, akan menyebabkan banyak orang di sekelilingnya mengalami kerugian.

Ketika saya menyadari bahwa tahun 2013 ini merupakan "The Year of Spiritual Leadership" bagi saya, di saat yang sama saya menyadari kebutuhan untuk memperbaiki kepemimpinan saya.Dengan jujur saya ingin mengatakan bahwa waktu-waktu ini seperti waktu akil baliq bagi kepemimpinan saya. Masa-masa transisi sedang terjadi. Kapal harus menyesuaikan arah. Komitmen saya ditantang lebih lagi. Saya harus mengabaikan gangguan-gangguan kecil dan mengarahkan diri untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih esensi. Kekuatan fokus harus terus dibangun agar hasil yang nyata terus terlihat. Waktu-waktu yang ada harus terus digunakan untuk membangun hubungan dan mengembangkan "network" untuk sebuah visi yang besar di masa depan.

Kesimpulanya, kepemimpinan tidak semudah apa yang ditulis dalam buku-buku kepemimpinan. Kepemimpinan adalah bagaimana kita bertindak dan bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan tersebut. Cara paling ampuh untuk mengalahkan ketakutan ialah dengan cara bertindak. Ketika kita mulai bertindak, kita akan menjadi lebih percaya diri. Ketakutan akan mulai hilang. Kita membayar untuk mendapatkan sebuah pengalaman. Jika kita melakukan kesalahan, segera lakukan evaluasi. Kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi orang lain melalui hubungan dan menjadi produktif.

 

Rabu, 06 Februari 2013

Sudah seminggu ini saya merasakan ketakutan hingga hari ini, hari ulang tahun saya. Seminggu yang lalu seorang sahabat bertanya kepada saya: "Minggu depan loe ulang tahun ya?" Lalu saya menjawab: "Iya, tapi gue merasa ada beban. Sepertinya belum melakukan banyak hal bagi Tuhan."

Ketakutan terbesar saya hari ini ialah: saya takut bahwa saya sedang menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Semua ada dalam jangkauan kendali saya. Segalanya sangat teratur & bisa diprediksi. Tidak perlu ada kejutan atau kabar buruk di saat saya sedang merasa tidak siap.

Hari ini saya berketetapan hati untuk menjalani kehidupan yang "lebih dari biasanya." Mempergunakan waktu yang ada & mengisinya dengan melakukan kehendak Tuhan. "Kehendak Tuhan" seharusnya mudah dipahami. Bukankah Tuhan ingin kita melakukan kehendakNya? Ia pasti berkepentingan untuk memberitahukan kehendakNya kepada kita!

Yang membuat kehendak Tuhan menjadi sulit kita ketahui ialah: kedagingan kita. Semakin kita bertumbuh di dalam kedagingan, semakin sulit kita mengerti kehendak Tuhan. Bukan karena kehendak tersebut tidak diberitahukan oleh Tuhan, melainkan karena kita tidak dapat memahami kehendak Tuhan dengan "daging" kita. Semakin kita mengizinkan diri kita mengalami kematian daging, semakin kita dekat dengan kehendak Tuhan.

Untuk hidup di dalam kehendak Tuhan, kita harus hidup di dalam Roh bukan hidup di dalam daging. Berjalan di dalam Roh adalah suatu tuntutan mutlak bagi semua orang percaya. Inilah kehidupan Kristen yang normal, yaitu: berjalan di dalam Roh setiap hari.

Pelajaran "penyerahan diri" (surrender) merupakan pelajaran rohani yang sulit. Kita dituntun untuk mengalami kematian daging setiap hari. Tidak ada saat di dalam hari-hari kita, di mana kita tidak membutuhkan "penyerahan diri." Setiap saat kita membutuhkan penyerahan diri. Penyerahan diri telah menjadi sebuah kebutuhan rohani bagi semua orang. Tanpa penyerahan diri kita tidak akan pernah mengalami Allah dalam dimensi yang lebih besar. Tidak mungkin seseorang dalam berjalan di dalam iman, jika ia tidak memulainya dengan memiliki penyerahan diri.

Syarat untuk mengalami kemenangan di dalam hidup ialah: mengalami kekalahan. Kita harus memberi diri untuk "dikalahkan oleh Allah" sebelum akhirnya kita mengalami kemenangan-kemenangan bersama Dia. Kehidupan Kristen bukan tentang bagaimana semua yang kita inginkan terwujud, melainkan bagaimana semua yang Allah inginkan tergenapi dalam hidup kita.

Ketakutan saya untuk menjalani hidup yang biasa-biasa mendorong saya untuk masuk ke dalam penyerahan diri. Memberi diri dikalahkan oleh Allah, supaya seluruh kehendakNya terjadi dalam hidup saya. Kita tidak selalu mengerti kehendak Allah, namun kehendak Allah selalu yang terbaik buat kita.

Senin, 28 Januari 2013

Salah satu bentuk kemalasan yang paling berbahaya ialah: malas mengkoreksi apa yang kita yakini tentang sesuatu & bagaimana kita melakukan sesuatu. Kepemimpinan yang efektif membutuhkan "self-correction" terus-menerus. Kemalasan untuk melakukan koreksi dapat menghasilkan stagnasi dalam segala hal.

"Koreksi" adalah kata yang sangat menakutkan bagi kebanyakan orang. Kita berusaha keras menghindarinya. Hanya menginginkan pujian tanpa mengharapkan koreksi, tidak akan membuat kepemimpinan bertumbuh. Kepemimpinan sangat identik dengan perubahan. Agar sebuah perubahan menjadi efektif & memiliki hasil yang positif, diperlukan tindakan koreksi yang dilakukan dengan benar.

Namun hal yang seringkali kita lupa sebelum melakukan koreksi ialah: mengembangkan kualitas hubungan. Tanpa kualitas hubungan yang baik, perubahan akan selalu menciptakan goncangan & rasa tidak aman. Keterampilan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin ialah: keterampilan untuk membangun hubungan. Ada banyak hal besar & sulit yang dapat seorang pemimpin lakukan, jika ia memiliki kualitas hubungan & reputasi yang baik.

Untuk membangun kualitas hubungan & reputasi yang baik, dibutuhkan usaha & inisiatif. Kualitas hubungan & reputasi yang baik tidak datang dengan sendirinya. Kita perlu secara aktif membangunnya. Mulailah membangun hubungan yang baik dengan orang-orang yang sulit (difficult people). Jangan selalu melihat keberadaan "orang-orang yang sulit ini" (difficult people) sebagai musuh yang harus dikalahkan & disingkirkan. Milikilah kemampuan untuk "mengubah lawan menjadi kawan."

Kepemimpinan ialah tentang membangun hubungan dengan orang-orang yang sulit tanpa harus mengkompromikan prinsip kebenaran. Dengan mengembangkan hubungan dengan orang-orang yang sulit (difficult people), kapasitas & pengaruh kepemimpinan kita akan berkembang semakin besar.