Kamis, 08 Oktober 2015

DON'T LEAD BY ASSUMPTION

Akhirnya saya mengalami sendiri betapa berbahayanya memimpin berdasarkan asumsi. Saya adalah seorang yang berkepribadian Intim-Stabil yang sangat "people-oriented." Saya menyadari bahwa "relationship" merupakan area kekuatan saya. Namun, saya pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa kekuatan & kelemahan seseorang terletak di area yang sama. Kekuatan yang "tidak diurus" & dikembangkan, dapat berubah menjadi kelemahan yang mendatangkan kekalahan di hidup kita. Relationship ternyata merupakan area kekuatan sekaligus area kelemahan yang harus saya waspadai & atasi.

I love people... Saya bahkan bertumbuh sebagai seorang anak yang mudah percaya kepada orang lain. Tidak pendendam meskipun bisa saja terjadi keributan. Cepat memaaafkan. Tidak suka adanya konflik hubungan. Saya menyukai banyak teman. Lebih tepatnya, saya suka ketika ada banyak orang menyukai saya.

Namun ternyata, kepemimpinan membawa hidup saya ke dalam banyak zona berbahaya yang penuh dengan konflik & konfrontasi. Ada kalanya disalahpahami, difitnah, ditinggalkan, tidak dianggap, dimanfaatkan bahkan ada orang-orang yang menginginkan kegagalan & kehancuran saya.

Apa yang terjadi baru-baru ini membuka mata saya akan sebuah pelajaran penting di dalam kepemimpinan, yaitu: asumsi. Don't lead by assumption. Bagaimana caranya menggambarkan asumsi? Mungkin dengan kata-kata berikut: saya pikir... kirain sudah tahu... tadinya gue anggap dia sudah ngerti...

Ketika melihat "orang-orang hebat" yang Tuhan berikan di gereja kami, saya berasumsi bahwa mereka sudah hidup dengan kapasitas seorang pemimpin. Dengan melihat & berinteraksi dengan mereka, saya menaruh harapan yang besar akan kapasitas & kemampuan mereka. Ternyata saya salah. Bukan salah mereka jika mereka tidak memenuhi ekspektasi kita. Kitalah yang kurang objektif dalam mengenal mereka. Kita harus mengenal lebih dulu sebelum menaruh ekspektasi pada diri mereka. Karena menyukai hubungan dengan orang-orang tertentu, kadang kita menutup mata terhadap hal-hal kecil (sinyal-sinyal kecil) yang seharusnya kita waspadai. Ketika kita mengabaikan sinyal-sinyal kecil tersebut, kita sedang membiarkan benih yang salah tumbuh di dalam diri mereka.

Ternyata bukan hanya "leadership" yang harus dipandu dengan "prinsip," tetapi "hubungan" juga perlu dijalani dengan pemahaman akan prinsip-prinsip hubungan yang tepat. Prinsip-prinsip yang salah mengenai hubungan dapat membawa kita pada kegagalan & masalah besar seputar hubungan dengan orang lain.

Pengampunan merupakan langkah awal dari pemulihan. Iman membawa kita untuk terus melangkah maju dalam rencana Allah. Pasti ada sesuatu yang besar yang Allah ingin kerjakan melalui peristiwa ini. Kita harus kembali membenahi perspektif kita bahwa seluruh pelayanan kita merupakan milik Allah. People come & go. Sebagai pemimpin kita harus siap dengan pertambahan & kehilangan. Ketika ada orang yang masuk di bawah kepemimpinan kita, mungkin ada pemimpin lain yang kehilangan orang tersebut. Sebagai seorang pemimpin kita harus bersikap fair ketika orang datang & meninggalkan kita. Kita harus kembali mengingat bahwa kita cuma hamba. Kita bukan pemilik segala sesuatu; kita hanya dipercaya untuk mengelola apa yang Tuhan percayakan. Jika apa yang ada pada kita diambil, maka kita tidak boleh terpuruk dalam kekecewaan & masuk ke dalam kubangan mengasihani diri.

Tidak ada yang fatal di dalam Tuhan. Allah bisa mengubah & memperbaiki keadaan kita, melampaui kelemahan kita, asalkan kita memiliki kerendahan hati untuk memperbaiki setiap kesalahan yang Allah singkapkan kepada kita. Setiap pemimpin bukan hanya membutuhkan karunia untuk memimpin, mereka juga membutuhkan kasih karunia untuk memimpin. Agar ketika mereka berhadapan dengan konflik & konfrontasi, mereka tidak menjadi lelah, terluka & berhenti di tengah jalan. Melainkan tetap mengandalkan Allah yang telah memanggil mereka untuk sebuah tugas yang sulit, yang hanya bisa diselesaikan dengan kemampuan-Nya.

Pengurapan di dalam diri anda akan selalu mengundang konfrontasi. Semakin anda sungguh hidup dalam rencana Allah, Iblis akan semakin ingin menghentikan anda.

Saya bersyukur untuk "godly advice" yang diberikan oleh beberapa pemimpin yang telah lebih dulu melewati berbagai medan sukar di dalam kepemimpinan mereka. Hikmat yang mereka membantu saya untuk melihat jalan keluar & mengetahui hal-hal apa saja yang harus saya lakukan.

Senin, 05 Oktober 2015

The Hardest Lesson of Fatherhood Leadership

Seorang sahabat meminta saya menggantikan dia mengajar di kelas Christian Leadership di sebuah STT tempat ia mengajar. Saya diminta mengajarkan materi FATHERHOOD LEADERSHIP (Kepemimpinan Pembapaan). Ini adalah salah satu tema yang telah saya pelajari & praktekkan sejak bertahun-tahun yang lalu.

Namun hari-hari ini, saya sedang berada di waktu yang sangat sukar untuk mengajarkan kebenaran tentang FATHERHOOD LEADERSHIP. Saya berada diambang kegagalan untuk mempraktekkan materi yang akan saya ajarkan. Kepemimpinan Pembapaan bukan sekedar paradigma, materi, konsep atau pun sebuah slogan. Melainkan sebuah proses yang sukar untuk dijalani karena di dalamnya terdapat banyak tantangan & asumsi.

Kehilangan terbesar dalam hidup saya bukanlah kehilangan harta benda, melainkan kehilangan hubungan-hubungan yang berarti. Malam ini, saya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Daud ketika ia dikejar & hendak dibunuh oleh Absalom, anaknya sendiri.

Daud melalui saat-saat yang sangat sukar dalam soal hubungan setidaknya dua kali, yaitu saat ia dikejar-kejar & ingin dibunuh oleh Saul mertuanya & saat ia dikejar-kejar & ingin dibunuh oleh Absalom anaknya sendiri.

Daud sang pemimpin hebat, harus melewati badai besar & krisis dalam kepemimpinannya. Yes, Daud memang terbatas & tidak sempurna. Namun, selalu saja ada orang yang tidak suka atau membenci Daud. Sang pemimpin hebat ini sempat mengalami apa artinya gagal menjadi seorang pemimpin sesungguhnya, yaitu menjadi seorang ayah untuk Absalom.

Dalam kepemimpinan pembapaan yang kita lakukan, kita mengharapkan muncul Salomo-Salomo yang dapat mewarisi pelayanan & nama baik kita. Namun tak jarang yang muncul malah Absalom-Absalom yang menyerang & mengambil otoritas kita untuk menggunakannya dengan cara yang keluar dari kehendak Allah.

Seperti halnya Daud, kita tidak suka keadaan di mana yang menjadi musuh kita adalah anak-anak rohani kita sendiri. Sehebat-hebatnya Daud memenangkan berbagai pertempuran, namun ia tak sampai hati untuk bertempur melawan anaknya sendiri. Daud difitnah, reputasinya dirusak & harus hidup sebagai pelarian bersama sisa-sisa pengikutnya.

Anak-anak rohani yang mudah meninggalkan kita & menikam kita biasanya adalah anak-anak yang terluka. Mereka belum sembuh dari luka terhadap otoritas di waktu yang lampau. Menjadi seorang bapa rohani tidak terjadi hanya karena seseorang memanggil kita "bapa." Melainkan waktu kita mendapatkan hati Tuhan untuk membawa orang lain pada penggenapan rencana Allah.

Pada akhirnya, kita bukan hanya bisa mengajarkan keberhasilan kepada orang lain, tetapi kita juga bisa mengajarkan hikmat dari kegagalan yang kita alami.

Daud mampu bangkit dari kegagalannya. Ketika anaknya Absalom meninggalkannya, Ia tetap tidak meninggalkan Allah. Daud tetap berjalan dalam keintiman dengan Allah, apa pun yang terjadi.

Kamis, 08 Oktober 2015

Akhirnya saya mengalami sendiri betapa berbahayanya memimpin berdasarkan asumsi. Saya adalah seorang yang berkepribadian Intim-Stabil yang sangat "people-oriented." Saya menyadari bahwa "relationship" merupakan area kekuatan saya. Namun, saya pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa kekuatan & kelemahan seseorang terletak di area yang sama. Kekuatan yang "tidak diurus" & dikembangkan, dapat berubah menjadi kelemahan yang mendatangkan kekalahan di hidup kita. Relationship ternyata merupakan area kekuatan sekaligus area kelemahan yang harus saya waspadai & atasi.

I love people... Saya bahkan bertumbuh sebagai seorang anak yang mudah percaya kepada orang lain. Tidak pendendam meskipun bisa saja terjadi keributan. Cepat memaaafkan. Tidak suka adanya konflik hubungan. Saya menyukai banyak teman. Lebih tepatnya, saya suka ketika ada banyak orang menyukai saya.

Namun ternyata, kepemimpinan membawa hidup saya ke dalam banyak zona berbahaya yang penuh dengan konflik & konfrontasi. Ada kalanya disalahpahami, difitnah, ditinggalkan, tidak dianggap, dimanfaatkan bahkan ada orang-orang yang menginginkan kegagalan & kehancuran saya.

Apa yang terjadi baru-baru ini membuka mata saya akan sebuah pelajaran penting di dalam kepemimpinan, yaitu: asumsi. Don't lead by assumption. Bagaimana caranya menggambarkan asumsi? Mungkin dengan kata-kata berikut: saya pikir... kirain sudah tahu... tadinya gue anggap dia sudah ngerti...

Ketika melihat "orang-orang hebat" yang Tuhan berikan di gereja kami, saya berasumsi bahwa mereka sudah hidup dengan kapasitas seorang pemimpin. Dengan melihat & berinteraksi dengan mereka, saya menaruh harapan yang besar akan kapasitas & kemampuan mereka. Ternyata saya salah. Bukan salah mereka jika mereka tidak memenuhi ekspektasi kita. Kitalah yang kurang objektif dalam mengenal mereka. Kita harus mengenal lebih dulu sebelum menaruh ekspektasi pada diri mereka. Karena menyukai hubungan dengan orang-orang tertentu, kadang kita menutup mata terhadap hal-hal kecil (sinyal-sinyal kecil) yang seharusnya kita waspadai. Ketika kita mengabaikan sinyal-sinyal kecil tersebut, kita sedang membiarkan benih yang salah tumbuh di dalam diri mereka.

Ternyata bukan hanya "leadership" yang harus dipandu dengan "prinsip," tetapi "hubungan" juga perlu dijalani dengan pemahaman akan prinsip-prinsip hubungan yang tepat. Prinsip-prinsip yang salah mengenai hubungan dapat membawa kita pada kegagalan & masalah besar seputar hubungan dengan orang lain.

Pengampunan merupakan langkah awal dari pemulihan. Iman membawa kita untuk terus melangkah maju dalam rencana Allah. Pasti ada sesuatu yang besar yang Allah ingin kerjakan melalui peristiwa ini. Kita harus kembali membenahi perspektif kita bahwa seluruh pelayanan kita merupakan milik Allah. People come & go. Sebagai pemimpin kita harus siap dengan pertambahan & kehilangan. Ketika ada orang yang masuk di bawah kepemimpinan kita, mungkin ada pemimpin lain yang kehilangan orang tersebut. Sebagai seorang pemimpin kita harus bersikap fair ketika orang datang & meninggalkan kita. Kita harus kembali mengingat bahwa kita cuma hamba. Kita bukan pemilik segala sesuatu; kita hanya dipercaya untuk mengelola apa yang Tuhan percayakan. Jika apa yang ada pada kita diambil, maka kita tidak boleh terpuruk dalam kekecewaan & masuk ke dalam kubangan mengasihani diri.

Tidak ada yang fatal di dalam Tuhan. Allah bisa mengubah & memperbaiki keadaan kita, melampaui kelemahan kita, asalkan kita memiliki kerendahan hati untuk memperbaiki setiap kesalahan yang Allah singkapkan kepada kita. Setiap pemimpin bukan hanya membutuhkan karunia untuk memimpin, mereka juga membutuhkan kasih karunia untuk memimpin. Agar ketika mereka berhadapan dengan konflik & konfrontasi, mereka tidak menjadi lelah, terluka & berhenti di tengah jalan. Melainkan tetap mengandalkan Allah yang telah memanggil mereka untuk sebuah tugas yang sulit, yang hanya bisa diselesaikan dengan kemampuan-Nya.

Pengurapan di dalam diri anda akan selalu mengundang konfrontasi. Semakin anda sungguh hidup dalam rencana Allah, Iblis akan semakin ingin menghentikan anda.

Saya bersyukur untuk "godly advice" yang diberikan oleh beberapa pemimpin yang telah lebih dulu melewati berbagai medan sukar di dalam kepemimpinan mereka. Hikmat yang mereka membantu saya untuk melihat jalan keluar & mengetahui hal-hal apa saja yang harus saya lakukan.

Senin, 05 Oktober 2015

Seorang sahabat meminta saya menggantikan dia mengajar di kelas Christian Leadership di sebuah STT tempat ia mengajar. Saya diminta mengajarkan materi FATHERHOOD LEADERSHIP (Kepemimpinan Pembapaan). Ini adalah salah satu tema yang telah saya pelajari & praktekkan sejak bertahun-tahun yang lalu.

Namun hari-hari ini, saya sedang berada di waktu yang sangat sukar untuk mengajarkan kebenaran tentang FATHERHOOD LEADERSHIP. Saya berada diambang kegagalan untuk mempraktekkan materi yang akan saya ajarkan. Kepemimpinan Pembapaan bukan sekedar paradigma, materi, konsep atau pun sebuah slogan. Melainkan sebuah proses yang sukar untuk dijalani karena di dalamnya terdapat banyak tantangan & asumsi.

Kehilangan terbesar dalam hidup saya bukanlah kehilangan harta benda, melainkan kehilangan hubungan-hubungan yang berarti. Malam ini, saya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Daud ketika ia dikejar & hendak dibunuh oleh Absalom, anaknya sendiri.

Daud melalui saat-saat yang sangat sukar dalam soal hubungan setidaknya dua kali, yaitu saat ia dikejar-kejar & ingin dibunuh oleh Saul mertuanya & saat ia dikejar-kejar & ingin dibunuh oleh Absalom anaknya sendiri.

Daud sang pemimpin hebat, harus melewati badai besar & krisis dalam kepemimpinannya. Yes, Daud memang terbatas & tidak sempurna. Namun, selalu saja ada orang yang tidak suka atau membenci Daud. Sang pemimpin hebat ini sempat mengalami apa artinya gagal menjadi seorang pemimpin sesungguhnya, yaitu menjadi seorang ayah untuk Absalom.

Dalam kepemimpinan pembapaan yang kita lakukan, kita mengharapkan muncul Salomo-Salomo yang dapat mewarisi pelayanan & nama baik kita. Namun tak jarang yang muncul malah Absalom-Absalom yang menyerang & mengambil otoritas kita untuk menggunakannya dengan cara yang keluar dari kehendak Allah.

Seperti halnya Daud, kita tidak suka keadaan di mana yang menjadi musuh kita adalah anak-anak rohani kita sendiri. Sehebat-hebatnya Daud memenangkan berbagai pertempuran, namun ia tak sampai hati untuk bertempur melawan anaknya sendiri. Daud difitnah, reputasinya dirusak & harus hidup sebagai pelarian bersama sisa-sisa pengikutnya.

Anak-anak rohani yang mudah meninggalkan kita & menikam kita biasanya adalah anak-anak yang terluka. Mereka belum sembuh dari luka terhadap otoritas di waktu yang lampau. Menjadi seorang bapa rohani tidak terjadi hanya karena seseorang memanggil kita "bapa." Melainkan waktu kita mendapatkan hati Tuhan untuk membawa orang lain pada penggenapan rencana Allah.

Pada akhirnya, kita bukan hanya bisa mengajarkan keberhasilan kepada orang lain, tetapi kita juga bisa mengajarkan hikmat dari kegagalan yang kita alami.

Daud mampu bangkit dari kegagalannya. Ketika anaknya Absalom meninggalkannya, Ia tetap tidak meninggalkan Allah. Daud tetap berjalan dalam keintiman dengan Allah, apa pun yang terjadi.