Jumat, 27 Januari 2012

API YANG HAMPIR PADAM

Letih! Tangki emosional saya terkuras habis. Perasaan kesepian menyergap. Saya merasa seperti Elia yang sembunyi di gua. Tidak tahu apa penyebabnya munculnya perasaan ini. Bohong rasanya kalo saya bilang bahwa saya tidak pernah lelah dengan "penggembalaan." Kadang saya mendapati diri saya sendirian & kesepian. Berada di tengah-tengah kebingungan & kehilangan arah.

Sebagai seorang pemimpin & bapa di dalam komunitas, saya menjadi penentu arah & kondisi komunitas. Kami seperti sekumpulan pasukan yang sedang tersesat di hutan, kehilangan arah, capek & lapar. Kami tahu bahwa kami baru saja berhadapan dengan musuh & melewatkan pertempuran yang tidak begitu buruk. Namun sekarang apa lagi...

Pasukan seperti kehilangan gairah. Mereka menunggu. Seperti yang saya duga, mereka menunggu saya. Saya pernah menemukan kebenaran ini ketika melayani sebuah Camp anak muda di Salatiga: "Ada 2 alasan mengapa kita sulit untuk bangkit: 1. Karena kita terlalu terluka atau 2. karena kita terlalu nyaman." Tapi bagaimana jika seandainya kita berada di antara keduanya. Di antara terluka & nyaman.

I Raja-raja  19:9 
Di sana masuklah ia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?"

Ketika kita kehilangan roh yang menyala-nyala, kita nyaris tidak mampu lagi untuk melayani Tuhan. Tidak seorang pun mampu melayani Allah dengan kekuatan daging. Untuk melayani Dia & hidup berkenan kepada-Nya, kita harus hidup di dalam roh. Kita harus dipimpin oleh Roh Kudus.

Tindakan mengisolasi diri dapat memadamkan api & gairah rohani yang kita miliki. Hidup berkomunitas bukan sekedar "status," melainkan "terlibat." Mereka yang tidak terlibat, jarang mendapat manfaat. Keterlibatan merupakan bukti dari komitmen. Sepertinya kata "komitmen" telah luntur maknanya. Kita sedang hidup di tengah-tengah generasi yang "terluka" dengan kata "komitmen." Komitmen dilanggar oleh para suami, isteri, atasan, karyawan, pemimpin rohani, presiden, politikus dll.

Kita harus mengembalikan kekuatan kata "komitmen" sesuai dengan bagaimana Allah menggunakannya. Allah berkomitmen terhadap kita, itu sebabnya Ia menyerahkan nyawa-Nya. Mereka yang betul-betul berkomitmen akan bersedia berkorban.

Tanpa kekuatan komitmen, sebuah gereja tidak dapat dibangun & berkembang. Tidak ada pertumbuhan gereja tanpa passion and commitment. Passionate terhadap hal-hal yang salah & berkomitmen kepada hal-hal yang salah... sepertinya kita kurang serius untuk belajar dari Tuhan untuk mengenali perbedaan antara hal-hal yang benar & hal-hal yang salah. Kita terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga proses pembelajaran tidak terlalu berdampak pada "jiwa" kita. Indera kita yang beroperasi di luar kendali Roh Kudus masih memimpin hidup kita, bukan roh yang ada di dalam kita.
Saat kita membutuhkan passion, kita perlu naik ke atas mezbah. Dengan segala penyerahan diri kita harus mengizinkan Allah menurunkan api-Nya untuk "membakar" hati kita. Terlalu sering "api asing" yang menggerakkan kita untuk hidup & melayani Tuhan. Itu sebabnya yang lahir ialah buah daging.

Ada saat di mana kita dapat dengan mudah menaikkan doa-doa yang penuh terobosan. Namun ada kalanya kita perlu "memaksakan diri" untuk masuk ke dalam terobosan. Mempercayai kekuatan Roh berarti menolak untuk memanjakan daging kita. "Menyangkal diri" itulah inti "pemuridan." Kita ingin pelajaran rohani tanpa penyangkalan diri. Yang kita terima hanyalah "hikmat dunia." Tidak ada pewahyuan Allah tanpa penyangkalan diri. Allah tidak akan mengubah standard-Nya. Kita tidak akan berhasil menghidupi standard Allah tanpa hidup di dalam DIA.

Teruskan perjuangan... Alami terobosan...
Melekatlah pada Pokok Anggur, karena DIALAH sumbermu!


Roma 12:11 
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.

Kamis, 26 Januari 2012

HABIT OF READING


Sudah 27 hari. Saya sedang akan menghabiskan buku ke 7 tahun ini.

Sejak tahun 2004, saya menetapkan target baca buku setiap tahunnya. Dimulai dari 30 buku pada tahun tersebut. Rekor yang pernah capai ialah sebanyak 70 buku, yaitu pada tahun 2007. Rata-rata saya membaca 50 buku dalam setahun.

Beberapa waktu belakangan ini saya merasa lebih mudah menghabiskan sebuah buku. Antara 2-3 hari untuk satu buku setebal kurang dari 200 halaman. Padahal sejak kecil saya bukan "kutu buku."

Kebiasaan membaca saya bangun ketika saya mulai lahir baru. Banyak hal seputar iman Kristen ingin saya ketahui. Buku-buku "bapa rohani" saya yang kala itu ssedang menyelesaikan studi di Sekolah Theologia menjadi incaran saya. Saya membaca karena saya di dorong oleh tujuan. Manfaat yang saya dapatkan dari membaca, membuat saya tidak pernah berpikir untuk berhenti membaca.

Setiap tahun saya menghabiskan uang yang sangat banyak untuk membeli buku. Pada tahun 2008, saya mendapat kesempatan untuk melayani ke luar negeri. Sydney, Australia menjadi kota & negara pertama yang saya injak. Saya harus berterima kasih kepada kedua sahabat saya: Andry Sugandi & Wigand Sugandi yang mengantar saya ke toko buku Koorong. Saya pulang ke Indonesia membawa 35 buku. Bayangkan, saya menghabiskan uang sekitar 300 dollar Australia untuk membeli buku-buku tersebut.
Beberapa bulan lagi saya akan kembali datang ke Sydney, Australia. Tentu toko buku Koorong telah menjadi salah satu "destination" di mana saya akan menggunakan sebagian uang saya.

Pembelajaranlah yang membawa saya pertama kali ke kota Sydney untuk berkhotbah sebanyak 11 kali dalam waktu 3 minggu 10 hari. Waktu itu saya sungguh-sungguh mempersiapkan diri selama 4 tahun dengan banyak membaca. 4 tahun setelah kedatangan saya terakhir, kini saya kembali ke sana. Saya rasa 4 tahun ini saya telah belajar lebih banyak. Lebih tepatnya, bertobat lebih banyak. Belajar berarti bertobat. Menambah pengetahuan tidak akan membawa dampak apapun, jika kita tidak membuat keputusan untuk berubah dengan membuang apa yang salah & menerima apa yang benar.

Saat ini saya jauh lebih siap untuk melayani ke luar negeri. Persiapan yang saya lakukan bukan hanya dengan membaca, tetapi juga dalam latihan rohani. Saya belajar bertanya kepada Tuhan mengenai buku yang harus saya baca. Membaca buku yang tepat di waktu yang tepat sangat penting. Allah sering berbicara kepada saya melalui buku-buku yang saya baca. Belajar tidak mengabaikan impresi yang datang untuk membaca atau membeli sebuah buku, telah mendatangkan banyak keuntungan bagi kehidupan rohani saya. Saya mencintai buku. Allah menggunakan kecintaan saya pada buku untuk mengajar, mewahyukan Diri & berbicara kepada saya.

Setiap orang percaya harus hidup dipimpin Roh. Ini bukan sekedar sebuah ungkapan. Inilah kebenarannya! Bahkan dalam soal membaca buku pun, kita harus bertanya: buku apa yang Tuhan ingin kita baca saat ini! Ada kalanya Tuhan meminta saya untuk berhenti membaca buku sejenak, karena ia hendak berbicara dengan cara yang lain. Saya belajar menaatinya. Walaupun saya suka membaca buku-buku rohani, namun kecintaan saya terhadap buku tidak boleh melebihi kecintaan saya kepada Tuhan. Bahkan saya tidak boleh lebih suka membaca buku-buku rohani daripada membaca Alkitab (the anointed Book).

Sejak awal pelayanan, saya selalu memegang perkataan John C. Maxwell: "Pembaca adalah Pemimpin." Jika sampai hari ini saya membaca, itu karena saya masih ingin terus berfungsi sebagai seorang pemimpin. Setiap pemimpin akan diperhadapkan pada situasi pembuatan keputusan yang sulit. Kita membutuhkan wawasan untuk membuat keputusan dengan benar. Kebiasaan membaca akan membantu para pemimpin untuk membuat keputusan dengan benar.

Kebiasan membaca membuat saya tidak pernah bosan dengan hidup saya. Di dalam buku-buku tersebut, saya menemukan banyak hal yang baru untuk dipelajari.

Dipercaya untuk menolong banyak orang melalui konseling & konsultasi merupakan sebuah anugerah Tuhan bagi hidup saya. Dengan membaca, saya menyambut kepercayaan yang Tuhan berikan dengan penuh tanggungjawab. Saya tidak dapat membagi apa yang tidak saya miliki. Mentalitas pembelajar adalah hal yang mutlak dimiliki oleh setiap para pelayan Tuhan. Itu sebabnya para pengikut Yesus disebut "disciples." Mereka dipakai karena mereka mau terus belajar.

Kamis, 19 Januari 2012

MATA PELAJARAN YANG SELALU DIULANG


Pengalaman hidup dengan akar penolakan membuat seseorang sulit untuk bersikap tegas. Tegas adalah sebuah kata yang mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca di awal pertobatan. Buku tersebut berjudul "Berani Berkata TIDAK Tanpa Merasa Bersalah" yang ditulis oleh Robert Liardon. Kegagalan saya menghidupi pelajaran ini di masa lalu, membuat saya harus terus mengulang kembali pelajaran yang sama. Pelajaran ketegasan.

Ketegasan merupakan sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pria & seorang pemimpin. Tanpa ketegasan, tidak akan ada kemajuan. Bukan hanya itu. Ketegasan juga dapat mencegah terjadinya kehancuran. Takut penolakan telah membuat saya sering membiarkan suatu masalah serius, meskipun gejala-gejalanya telah terlihat sangat jelas.

Saya sering menyesal. Menyesal untuk apa yang tidak saya lakukan untuk melindungi orang-orang yang saya kasihi. Saya tidak berani mengatakan kebenaran hanya karena takut menyinggung perasaan orang lain. Dalam gaya kepemimpinan, saya cenderung untuk selalu menghindari konfrontasi. Ada banyak dalih yang bisa saya berikan untuk menutupi ketakutan & ketidaktegasan saya. Salah alasannya ialah: kasih. Dengan pengertian yang dangkal, saya beranggapan bahwa ketegasan berlawanan dengan kasih. Sikap "permisif" dengan mudah tumbuh, sehingga menghasilkan buah-buah kompromi dalam hidup banyak orang.

Orang-orang Kristen yang senang hidup di dalam dosa & suka memaklumi kejatuhan sangat menyukai gaya kepemimpinan saya. Sikap suka memaklumi, permisif & tidak tegas memang membuat saya menjadi pemimpin yang disukai. Namun menjadi pemimpin yang disukai bukan tanda keberhasilan. Tanpa saya sadari, orang-orang yang saya pimpin menunjukkan gejala kehidupan Kristen yang tidak sehat. Hidup seenaknya, tidak memiliki disiplin rohani, moody & tidak banyak yang muncul sebagai pemimpin yang kuat.

Meskipun saya sering menerima pujian dari banyak orang, namun saya mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan gaya kepemimpinan saya. Telah terjadi ketidakseimbangan dalam prinsip kepemimpinan. Kasih karunia tidak berjalan dengan kebenaran, hingga ketimpangan tersebut menghasilkan "penyalahgunaan kasih karunia."

Dua tahun terakhir, Allah banyak mengajar saya mengenai "ketegasan." Bidang di mana saya telah berulang kali gagal. Allah menggiring saya masuk ke dalam konfrontasi-konfrontasi langsung. Beberapa pewahyuan menyingkapkan bagaimana cara konfrontasi itu seharusnya dilakukan.

Bahkan memasuki tahun 2012 ini, saya banyak berurusan dengan masalah ketegasan. Waktu-waktu doa menjelang pergantian tahun, menjadi saat di mana Allah sering menyingkapkan pesan-pesan untuk tahun yang akan datang. Roh Kudus berbicara bahwa tahun 2012 akan menjadi "The Year of Spiritual Leadership" bagi saya. Allah meminta agar saya lebih lagi hidup dipimpin oleh Roh Kudus di dalam pengambilan keputusan. Ternyata "ketegasan" menjadi area yang sangat berperan.

Untuk setiap permintaan & tawaran yang tidak sesuai dengan firman Tuhan & hati nurani yang murni, saya memberanikan diri berkata "tidak." Saya menyadari bahwa beberapa orang tidak suka dengan jawaban yang saya berikan. Bahkan lebih jauh dari itu, beberapa dari mereka benar-benar tidak menyukai saya. 

Saya ingat salah satu nubuatan yang diberikan kepada saya dipertengahan tahun 1999. Tuhan akan memakai pelayanan saya seperti Yohanes Pembaptis. Nubuatan ini terkubur begitu dalam. Saya tidak bisa melihat kesamaan Yohanes Pembaptis yang pemberani dengan diri saya yang penakut & cenderung main aman. Saat ini saya sedang melihat nubuatan tersebut mulai digenapi. Pengurapan Allah yang terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan rohani yang saya terima dari Allah, mendatangkan banyak keberanian di dalam diri saya. Saya tidak laku takut ditolak ataupun dibenci karena melakukan & mengatakan kebenaran. Saya harus mempertanggungjawabkan seluruh pelayanan saya kepada Allah, bukan kepada manusia. Penilaian yang sejati datang dari Allah, bukan manusia. Saya tidak boleh membangun pelayanan saya, tetapi harus membangun Kerajaan-Nya. Saya tidak boleh mencari pengikut, tapi menjadikan semua orang murid Yesus (bukan murid saya).

Saya berharap pelayanan saya kali ini semakin matang & didewasakan oleh Allah. Saya tidak terlalu peduli pada berapa banyak undangan khotbah keliling yang saya terima dalam satu tahun. Bukan hal ini lagi yang saya kejar. Saya cuma mau tahu Tuhan mau apa dari hidup saya. Saya ingin hidup berkenan kepada-Nya. Saya ingin menjadi seorang hampa Tuhan yang "accountable & responsible" dihadapan Tuhan. Mungkin saat ini saya masih jauh dari ini semua. Namun saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang Allah berikan untuk melayani DIA. Saya menerima cuma-cuma, dan saya akan berikan secara cuma-cuma. Seperti janji Allah di awal pelayanan penggembalaan saya: "Kamu tidak hidup dari pemberian orang lain, melainkan hidup dari pemberianmu. Mulailah menabur & Aku akan memberkatimu." Terima kasih untuk janji-Mu Bapa. i love you so much...

Minggu, 15 Januari 2012

WHAT IS YOUR JOB?



Sampai sekarang saya masih sering mendengar pertanyaan: "what is your job?" Pekerjaan seseorang menggambarkan banyak hal tentang orang tersebut. Namun pekerjaan bukan sekedar masalah status atau jabatan. Bukan apa yang tertera di kartu nama kita. Pekerjaan adalah sebuah pengabdian diri, bersedia berbagi & menolong orang lain sesuai dengan kemampuan ataupun ketrampilan yang kita miliki, untuk kebaikan orang lain. Pada umumnya orang mengukur pekerjaan berdasarkan posisi, nama perusahaan, besarnya gaji & tunjangan. Memang betul bahwa hal tersebut sangat penting sekali. Namun, jika kita bekerja hanya untuk status & uang, maka kita bisa kehilangan hakikat kerja sebagaimana Allah merancangkannya untuk kita.

Banyak orang berpikir bahwa pekerjaan seorang pendeta (pastor atau gembala jemaat) adalah berkhotbah. Saya sering mengatakan bahwa tugas pendeta (pastor atau gembala) bukan HANYA berkhotbah. Berkhotbah hanya salah satu dari sekian banyak tugas pelayanan yang dilakukan oleh seorang pastor atau gembala jemaat.

Hari-hari ini saya sedang mengatasi sebuah permasalahan yang sangat serius di dalam jemaat. Dibutuhkan karakter, kepemimpinan, doa, hikmat & kerja sama tim yang baik untuk bisa membuat keputusan dengan benar. Saya harus membuat keputusan yang cukup sulit. Menghadapi banyak serangan & kritik. Disalahpahami. Terancam kehilangan hubungan-hubungan tertentu.

Beberapa tahun lalu (mungkin masih sampai sekarang), banyak orang ingin menjadi pendeta. Kisah pertobatan yang dramatis, membuat orang-orang tertentu dikagumi karena kesaksian-kesaksian mereka yang luar biasa. Manusia suka dengan pengaruh, posisi & kekuasaan. Pujian orang lain bisa membawa kita ke jalur di mana sebenarnya bukan bagian kita. Tiba-tiba "menjadi pendeta" menjadi trend & tujuan dari banyak orang Kristen. Anak muda, pengusaha, artis, dan berbagai profesi lainnya, berbondong-bondong meninggalkan pekerjaan mereka yang sebelumnya untuk menjadi pendeta. Jika itu memang panggilan Tuhan, tidak masalah. Namun, berapa banyak orang yang menjadi pendeta & menggembalakan gereja tahu persis apa tugas & pekerjaan mereka? Apakah mereka tahu bagaimana mengajar, memuridkan, mengkonseling dengan benar, melakukan "truth confrontation", mendoakan orang lain, merintis gereja, dll? Membuat keputusan dalam tingkat kepemimpinan rohani bukan perkara mudah. Kita tidak bisa memutuskan dengan pertimbangan manusia. Seperti kata Edwin Louis Cole, "hikmat manusia mengacaukan kebenaran Allah." That's true!

Sebagai pendeta muda, saya belajar menghayati panggilan, peran, tigas & tanggungjawab saya. Ada saat di mana saya melakukan pemberkatan nikah, membaptis orang, melakukan penyerahan anak di gereja, berkhotbah, membangun hubungan dengan gereja/pendeta lain... Saya belajar memahami panggilan hidup saya bukan hanya sebatas jabatan & status, melainkan apa yang Tuhan inginkan dari saya di waktu-waktu tertentu.

Hari ini saya sudah melayani konslutasi 4 orang melalui BBM. Menjawab pertanyaan mereka, memberi saran & pengajaran sesuai Firman Tuhan. Pekerjaan saya tidak terbatas oleh ruang & waktu. Saya harus siap kapan pun Allah hendak memakai saya. Itu sebabnya, saya belajar mempersiapkan diri sebaik mungkin setiap hari. Displin doa puasa minimal seminggu sekali, membaca 50 buku setahun, setiap hari membaca 9 pasal ayat Firman Tuhan, melakukan pembapaan & pemuridan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin masa depan & membangun hubungan dengan orang-orang yang saya pimpin.

Beberapa pengalaman rohani yang Allah berikan membuat saya tidak ingin lagi untuk "kejar setoran" (khotbah keliling dari satu gereja ke gereja lain setiap minggu dengan harapan mendapatkan banyak uang persembahan kasih). Saya tahu bahwa konsekuensi finansial untuk keputusan ini. Namun, saya memilih untuk menjalaninya tanpa rasa takut. Larry S. Julian dalam buku God is My Success mengatakan bahwa finansial freedom adalah ketika kita berani mengambil keputusan yang benar tanpa takut akan konsekuensi finansial, karena kita percaya bahwa Allah itu sendirilah sumber berkat.

Dampak yang muncul dalam setiap pelayanan saya sebenarnya merupakan hasil dari apa yang saya lakukan setiap hari. Apa yang orang tidak lihat ketika saya berdoa di kamar. Membaca & meneliti Firman Tuhan untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Masih terjaga untuk membaca buku ketika isteri saya sudah tertidur lelap.

Jika kita tidak menghargai panggilan Tuhan, kita akan kehilangan panggilan tersebut. Iblis ingin mengaborsi panggilan Tuhan dalam hidup kita, sehingga ia dapat menghancurkan banyak kehidupan. Tahun 2012, saya berkomitmen lebih lagi untuk membangun kehidupan roh saya sebagai seorang pemimpin, karena percaya bahwa waktunya sudah sangat singkat. Status pekerjaan saya tidak sepenting panggilan hidup saya. Saya akan membayarnya dengan hidup & nyawa saya sehingga semua yang Allah rencanakan terjadi dalam hidup saya.

Jumat, 13 Januari 2012

Holy Matrimony 7 January 2012



7 January 2012, untuk kedua kalinya saya memberkati pasangan yang menikah. Kali ini pasangan begitu spesial. Ia anak rohani saya. Perkenalan kami sudah hampir 12 tahun. Tuhan mengizinkan saya terlibat dalam berbagai keputusan penting dalam hidupnya & menyaksikan kasih setia Tuhan yang begitu hebat dalam setiap kesempatan. Tuhan tidak pernah menyerah menghadapi setiap kegagalan & kesalahannya. Dalam keberhasilan yang paling menggembirakan, hingga kegagalan yang paling memalukan, Ia selalu ada bersama-sama dengan kita.

Saya senang dia menemukan pasangan yang sepadan. Sesi-sesi konseling pra-nikah kami lalui tahap demi tahap, hingga saat yang dinanti pun tiba.

Saya tiba di Hotel Padma Bandung dengan kondisi tubuh yang kurang baik akibat kurang istirahat selama 3 hari. Belum lagi saya tidak cukup siap dengan pesan yang harus saya khotbahkan di ibadah pemberkatan nikah keesokan sorenya.

Dalam melayani pekerjaan Tuhan, saya belajar untuk tidak menganggap remeh setiap kesempatan untuk melayani Dia. Mentalitas menganggap remeh menyebabkan seseorang tidak siap & tidak memberi yang terbaik. Akibatnya adalah penyesalan. Banyak penyesalan yang telah saya alami di dalam hal berkhotbah, yang disebabkan oleh mentalitas ini: khotbah yang terdengar asal-asalan & tidak siap. Berbagai tanggapan yang kurang menyenangkan menjadi salah satu konsekuensinya. Saya tahu itu bukan salah siapa-siapa, itu salah saya & saya harus berubah.

Menjelang pemberkatan nikah anak rohani saya, pikiran saya tidak tenang. Selain kondisi badan yang kurang sehat, saya juga sedang memikirkan suatu masalah yang sedang terjadi di dalam jemaat. Saya betul-betul merasa "stuck." Tidak bisa berpikir. Bahkan saya kesulitan membaca Firman Tuhan karena susahnya berkonsntrasi akibat kurang istirahat & kepala cenat-cenut karena masuk angin. Malam itu saya berusaha keras menyelesaikan komitmen harian saya membaca 9 pasal ayat Alkitab (5 Perjanjian Lama & 4 Perjanjian Baru). Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa.

Secara ajaib Tuhan membantu saya mempersiapkan pesan pemberkatan nikah sekitar 1 jam menjelang pemberkatan nikah di mulai. Saya begitu bersemangat sore itu. Pemberkatan Nikah yang seharusnya dilakukan outdoor, berubah menjadi indoor karena hujan turun sore itu. Luar biasa, pemberkatan nikah sore itu berjalan dengan sangat baik. Hal yang tidak disangka, malam itu saya menerima begitu banyak pujian baik dari pihak keluarga, tamu maupun pendeta-pendeta lain yang hadir di sana. Jujur saja, sebenarnya saya merasa tidak layak menerima semua pujian itu. Saya bukan orang yang cukup fasih membawakan khotbah di acara se-resmi ini. Apalagi melihat ketidaksiapan saya sebelumnya. Sungguh, ini semua adalah anugerah Tuhan.

Hari itu saya mengalami mujizat & pertolongan Tuhan dalam menyiapkan khotbah. Bagaimana seandainya saya berkhotbah dengan sangat buruk sehingga mengacaukan kebahagiaan orang lain (kedua mempelai & keluarga). Pelayanan adalah sebuah kepercayaan. Setiap kepercayaan yang diberikan kepada kita layak untuk dilakukan dengan sebaik mungkin.

Setelah acara pemberkatan nikah, saya kembali ke kamar hotel untuk ganti kemeja & dasi. Saya siap untuk menikmati resepsi pernikahan dengan warna kemeja & dasi yang berbeda. Saya berpikir setidaknya orang-orang yang tadi hadir di acara pemberkatan nikah sore tidak akan terlalu menyadari atau mengenali kehadiran saya di tengah kerumunan. Ketika hendak memasuki ruang resepsi, seorang ibu berbaju orange yang baru saja melewati saya, kembali untuk menyapa saya sambil berkata "Pak pendeta, terima kasih. Tadi khotbahnya sangat bagus. Saya sangat terberkati." Perasaan malu bercampur senang melingkupi hati saya. Setidaknya pesan yang saya sampaikan bukan hanya memberkati kedua mempelai, tetapi juga semua yang hadir. Saya lega karena Roh Kudus menolong saya untuk memberikan pesan yang terbaik di hari pernikahan anak rohani saya. Sampai kapan pun saya tetap ingin bisa dipercaya. Karena itu, saya harus terus belajar untuk tidak menganggap remeh apa yang dipercayakan kepada saya.

Gagasan Yang Hebat Harus Ditindaklanjuti


Saya sedang membaca buku "Berpikir dan Berjiwa Besar" yang ditulis oleh David J. Schwartz. Saya merasa tertemplak ketika membaca sebuah cerita dari buku tersebut.

Lima atau enam tahun yang lalu, seorang profesor yang sangat ahli mengatakan kepada saya tentang rencananya untuk menulis buku, biografi dari tokoh kontroversial beberapa dasawarsa yang lalu. gagasannya sangat menarik; gagasan tersebut hidup & mempesona. Profesor tersebut tahu apa yang ingin ia katakan, & ia mempunyai keahlian & energi untuk mengatakannya. Proyek tersebut ditakdirkan untuk memberinya imbalan berupa kepuasan batin yang besar, prestise & uang.

Musim semi yang lalu, saya bertemu kembali dengan teman saya ini & dengan lugu bertanya kepadanya apakah buku tersebut sudah hampir selesai. (Ini kesalahan besar; ini membuka luka lama).

Belum, ia belum menulis buku itu. Ia bergulat dengan dirinya sendiri untuk sesaat seolah ia sedang berdebat dengan dirinya apakah perlu menjelaskan alasannya. Akhirnya ia mengatakan bahwa ia terlalu sibuk, ia mempunyai "tanggungjawab" lebih besar & benar-benar tidak dapat menulis bukunya.

Setiap hari ribuan orang mengubur gagasan yang bagus karena mereka takut untuk melaksanakannya. Gagasan yang bagus saja tidak cukup. Gagasan sederhana yang dilaksanakan, & dikembangkan, adalah seratus persen lebih baik daripada gagasan hebat yang mati karena tidak ditindaklanjuti.

Sejak beberapa bulan lalu, saya ingin sekali menulis sebuah buku berjudul "Equipped For Hope." Ketika hasrat tersebut muncul di hati saya, saya menulis beberapa draft tentang buku tersebut. Sampai saya sadari bahwa saya tidak pernah lagi menyentuhnya. Penundaan, entah apapun alasannya, membuat seseorang menjadi tidak produktif. Saya harus kembali meneruskan apa yang telah saya mulai, sehingga di tahun ini, buku "Equipped For Hope" bisa terbit & menjadi berkat bagi banyak orang.

Jumat, 27 Januari 2012

Letih! Tangki emosional saya terkuras habis. Perasaan kesepian menyergap. Saya merasa seperti Elia yang sembunyi di gua. Tidak tahu apa penyebabnya munculnya perasaan ini. Bohong rasanya kalo saya bilang bahwa saya tidak pernah lelah dengan "penggembalaan." Kadang saya mendapati diri saya sendirian & kesepian. Berada di tengah-tengah kebingungan & kehilangan arah.

Sebagai seorang pemimpin & bapa di dalam komunitas, saya menjadi penentu arah & kondisi komunitas. Kami seperti sekumpulan pasukan yang sedang tersesat di hutan, kehilangan arah, capek & lapar. Kami tahu bahwa kami baru saja berhadapan dengan musuh & melewatkan pertempuran yang tidak begitu buruk. Namun sekarang apa lagi...

Pasukan seperti kehilangan gairah. Mereka menunggu. Seperti yang saya duga, mereka menunggu saya. Saya pernah menemukan kebenaran ini ketika melayani sebuah Camp anak muda di Salatiga: "Ada 2 alasan mengapa kita sulit untuk bangkit: 1. Karena kita terlalu terluka atau 2. karena kita terlalu nyaman." Tapi bagaimana jika seandainya kita berada di antara keduanya. Di antara terluka & nyaman.

I Raja-raja  19:9 
Di sana masuklah ia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?"

Ketika kita kehilangan roh yang menyala-nyala, kita nyaris tidak mampu lagi untuk melayani Tuhan. Tidak seorang pun mampu melayani Allah dengan kekuatan daging. Untuk melayani Dia & hidup berkenan kepada-Nya, kita harus hidup di dalam roh. Kita harus dipimpin oleh Roh Kudus.

Tindakan mengisolasi diri dapat memadamkan api & gairah rohani yang kita miliki. Hidup berkomunitas bukan sekedar "status," melainkan "terlibat." Mereka yang tidak terlibat, jarang mendapat manfaat. Keterlibatan merupakan bukti dari komitmen. Sepertinya kata "komitmen" telah luntur maknanya. Kita sedang hidup di tengah-tengah generasi yang "terluka" dengan kata "komitmen." Komitmen dilanggar oleh para suami, isteri, atasan, karyawan, pemimpin rohani, presiden, politikus dll.

Kita harus mengembalikan kekuatan kata "komitmen" sesuai dengan bagaimana Allah menggunakannya. Allah berkomitmen terhadap kita, itu sebabnya Ia menyerahkan nyawa-Nya. Mereka yang betul-betul berkomitmen akan bersedia berkorban.

Tanpa kekuatan komitmen, sebuah gereja tidak dapat dibangun & berkembang. Tidak ada pertumbuhan gereja tanpa passion and commitment. Passionate terhadap hal-hal yang salah & berkomitmen kepada hal-hal yang salah... sepertinya kita kurang serius untuk belajar dari Tuhan untuk mengenali perbedaan antara hal-hal yang benar & hal-hal yang salah. Kita terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga proses pembelajaran tidak terlalu berdampak pada "jiwa" kita. Indera kita yang beroperasi di luar kendali Roh Kudus masih memimpin hidup kita, bukan roh yang ada di dalam kita.
Saat kita membutuhkan passion, kita perlu naik ke atas mezbah. Dengan segala penyerahan diri kita harus mengizinkan Allah menurunkan api-Nya untuk "membakar" hati kita. Terlalu sering "api asing" yang menggerakkan kita untuk hidup & melayani Tuhan. Itu sebabnya yang lahir ialah buah daging.

Ada saat di mana kita dapat dengan mudah menaikkan doa-doa yang penuh terobosan. Namun ada kalanya kita perlu "memaksakan diri" untuk masuk ke dalam terobosan. Mempercayai kekuatan Roh berarti menolak untuk memanjakan daging kita. "Menyangkal diri" itulah inti "pemuridan." Kita ingin pelajaran rohani tanpa penyangkalan diri. Yang kita terima hanyalah "hikmat dunia." Tidak ada pewahyuan Allah tanpa penyangkalan diri. Allah tidak akan mengubah standard-Nya. Kita tidak akan berhasil menghidupi standard Allah tanpa hidup di dalam DIA.

Teruskan perjuangan... Alami terobosan...
Melekatlah pada Pokok Anggur, karena DIALAH sumbermu!


Roma 12:11 
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.

Kamis, 26 Januari 2012


Sudah 27 hari. Saya sedang akan menghabiskan buku ke 7 tahun ini.

Sejak tahun 2004, saya menetapkan target baca buku setiap tahunnya. Dimulai dari 30 buku pada tahun tersebut. Rekor yang pernah capai ialah sebanyak 70 buku, yaitu pada tahun 2007. Rata-rata saya membaca 50 buku dalam setahun.

Beberapa waktu belakangan ini saya merasa lebih mudah menghabiskan sebuah buku. Antara 2-3 hari untuk satu buku setebal kurang dari 200 halaman. Padahal sejak kecil saya bukan "kutu buku."

Kebiasaan membaca saya bangun ketika saya mulai lahir baru. Banyak hal seputar iman Kristen ingin saya ketahui. Buku-buku "bapa rohani" saya yang kala itu ssedang menyelesaikan studi di Sekolah Theologia menjadi incaran saya. Saya membaca karena saya di dorong oleh tujuan. Manfaat yang saya dapatkan dari membaca, membuat saya tidak pernah berpikir untuk berhenti membaca.

Setiap tahun saya menghabiskan uang yang sangat banyak untuk membeli buku. Pada tahun 2008, saya mendapat kesempatan untuk melayani ke luar negeri. Sydney, Australia menjadi kota & negara pertama yang saya injak. Saya harus berterima kasih kepada kedua sahabat saya: Andry Sugandi & Wigand Sugandi yang mengantar saya ke toko buku Koorong. Saya pulang ke Indonesia membawa 35 buku. Bayangkan, saya menghabiskan uang sekitar 300 dollar Australia untuk membeli buku-buku tersebut.
Beberapa bulan lagi saya akan kembali datang ke Sydney, Australia. Tentu toko buku Koorong telah menjadi salah satu "destination" di mana saya akan menggunakan sebagian uang saya.

Pembelajaranlah yang membawa saya pertama kali ke kota Sydney untuk berkhotbah sebanyak 11 kali dalam waktu 3 minggu 10 hari. Waktu itu saya sungguh-sungguh mempersiapkan diri selama 4 tahun dengan banyak membaca. 4 tahun setelah kedatangan saya terakhir, kini saya kembali ke sana. Saya rasa 4 tahun ini saya telah belajar lebih banyak. Lebih tepatnya, bertobat lebih banyak. Belajar berarti bertobat. Menambah pengetahuan tidak akan membawa dampak apapun, jika kita tidak membuat keputusan untuk berubah dengan membuang apa yang salah & menerima apa yang benar.

Saat ini saya jauh lebih siap untuk melayani ke luar negeri. Persiapan yang saya lakukan bukan hanya dengan membaca, tetapi juga dalam latihan rohani. Saya belajar bertanya kepada Tuhan mengenai buku yang harus saya baca. Membaca buku yang tepat di waktu yang tepat sangat penting. Allah sering berbicara kepada saya melalui buku-buku yang saya baca. Belajar tidak mengabaikan impresi yang datang untuk membaca atau membeli sebuah buku, telah mendatangkan banyak keuntungan bagi kehidupan rohani saya. Saya mencintai buku. Allah menggunakan kecintaan saya pada buku untuk mengajar, mewahyukan Diri & berbicara kepada saya.

Setiap orang percaya harus hidup dipimpin Roh. Ini bukan sekedar sebuah ungkapan. Inilah kebenarannya! Bahkan dalam soal membaca buku pun, kita harus bertanya: buku apa yang Tuhan ingin kita baca saat ini! Ada kalanya Tuhan meminta saya untuk berhenti membaca buku sejenak, karena ia hendak berbicara dengan cara yang lain. Saya belajar menaatinya. Walaupun saya suka membaca buku-buku rohani, namun kecintaan saya terhadap buku tidak boleh melebihi kecintaan saya kepada Tuhan. Bahkan saya tidak boleh lebih suka membaca buku-buku rohani daripada membaca Alkitab (the anointed Book).

Sejak awal pelayanan, saya selalu memegang perkataan John C. Maxwell: "Pembaca adalah Pemimpin." Jika sampai hari ini saya membaca, itu karena saya masih ingin terus berfungsi sebagai seorang pemimpin. Setiap pemimpin akan diperhadapkan pada situasi pembuatan keputusan yang sulit. Kita membutuhkan wawasan untuk membuat keputusan dengan benar. Kebiasaan membaca akan membantu para pemimpin untuk membuat keputusan dengan benar.

Kebiasan membaca membuat saya tidak pernah bosan dengan hidup saya. Di dalam buku-buku tersebut, saya menemukan banyak hal yang baru untuk dipelajari.

Dipercaya untuk menolong banyak orang melalui konseling & konsultasi merupakan sebuah anugerah Tuhan bagi hidup saya. Dengan membaca, saya menyambut kepercayaan yang Tuhan berikan dengan penuh tanggungjawab. Saya tidak dapat membagi apa yang tidak saya miliki. Mentalitas pembelajar adalah hal yang mutlak dimiliki oleh setiap para pelayan Tuhan. Itu sebabnya para pengikut Yesus disebut "disciples." Mereka dipakai karena mereka mau terus belajar.

Kamis, 19 Januari 2012


Pengalaman hidup dengan akar penolakan membuat seseorang sulit untuk bersikap tegas. Tegas adalah sebuah kata yang mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca di awal pertobatan. Buku tersebut berjudul "Berani Berkata TIDAK Tanpa Merasa Bersalah" yang ditulis oleh Robert Liardon. Kegagalan saya menghidupi pelajaran ini di masa lalu, membuat saya harus terus mengulang kembali pelajaran yang sama. Pelajaran ketegasan.

Ketegasan merupakan sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pria & seorang pemimpin. Tanpa ketegasan, tidak akan ada kemajuan. Bukan hanya itu. Ketegasan juga dapat mencegah terjadinya kehancuran. Takut penolakan telah membuat saya sering membiarkan suatu masalah serius, meskipun gejala-gejalanya telah terlihat sangat jelas.

Saya sering menyesal. Menyesal untuk apa yang tidak saya lakukan untuk melindungi orang-orang yang saya kasihi. Saya tidak berani mengatakan kebenaran hanya karena takut menyinggung perasaan orang lain. Dalam gaya kepemimpinan, saya cenderung untuk selalu menghindari konfrontasi. Ada banyak dalih yang bisa saya berikan untuk menutupi ketakutan & ketidaktegasan saya. Salah alasannya ialah: kasih. Dengan pengertian yang dangkal, saya beranggapan bahwa ketegasan berlawanan dengan kasih. Sikap "permisif" dengan mudah tumbuh, sehingga menghasilkan buah-buah kompromi dalam hidup banyak orang.

Orang-orang Kristen yang senang hidup di dalam dosa & suka memaklumi kejatuhan sangat menyukai gaya kepemimpinan saya. Sikap suka memaklumi, permisif & tidak tegas memang membuat saya menjadi pemimpin yang disukai. Namun menjadi pemimpin yang disukai bukan tanda keberhasilan. Tanpa saya sadari, orang-orang yang saya pimpin menunjukkan gejala kehidupan Kristen yang tidak sehat. Hidup seenaknya, tidak memiliki disiplin rohani, moody & tidak banyak yang muncul sebagai pemimpin yang kuat.

Meskipun saya sering menerima pujian dari banyak orang, namun saya mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan gaya kepemimpinan saya. Telah terjadi ketidakseimbangan dalam prinsip kepemimpinan. Kasih karunia tidak berjalan dengan kebenaran, hingga ketimpangan tersebut menghasilkan "penyalahgunaan kasih karunia."

Dua tahun terakhir, Allah banyak mengajar saya mengenai "ketegasan." Bidang di mana saya telah berulang kali gagal. Allah menggiring saya masuk ke dalam konfrontasi-konfrontasi langsung. Beberapa pewahyuan menyingkapkan bagaimana cara konfrontasi itu seharusnya dilakukan.

Bahkan memasuki tahun 2012 ini, saya banyak berurusan dengan masalah ketegasan. Waktu-waktu doa menjelang pergantian tahun, menjadi saat di mana Allah sering menyingkapkan pesan-pesan untuk tahun yang akan datang. Roh Kudus berbicara bahwa tahun 2012 akan menjadi "The Year of Spiritual Leadership" bagi saya. Allah meminta agar saya lebih lagi hidup dipimpin oleh Roh Kudus di dalam pengambilan keputusan. Ternyata "ketegasan" menjadi area yang sangat berperan.

Untuk setiap permintaan & tawaran yang tidak sesuai dengan firman Tuhan & hati nurani yang murni, saya memberanikan diri berkata "tidak." Saya menyadari bahwa beberapa orang tidak suka dengan jawaban yang saya berikan. Bahkan lebih jauh dari itu, beberapa dari mereka benar-benar tidak menyukai saya. 

Saya ingat salah satu nubuatan yang diberikan kepada saya dipertengahan tahun 1999. Tuhan akan memakai pelayanan saya seperti Yohanes Pembaptis. Nubuatan ini terkubur begitu dalam. Saya tidak bisa melihat kesamaan Yohanes Pembaptis yang pemberani dengan diri saya yang penakut & cenderung main aman. Saat ini saya sedang melihat nubuatan tersebut mulai digenapi. Pengurapan Allah yang terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan rohani yang saya terima dari Allah, mendatangkan banyak keberanian di dalam diri saya. Saya tidak laku takut ditolak ataupun dibenci karena melakukan & mengatakan kebenaran. Saya harus mempertanggungjawabkan seluruh pelayanan saya kepada Allah, bukan kepada manusia. Penilaian yang sejati datang dari Allah, bukan manusia. Saya tidak boleh membangun pelayanan saya, tetapi harus membangun Kerajaan-Nya. Saya tidak boleh mencari pengikut, tapi menjadikan semua orang murid Yesus (bukan murid saya).

Saya berharap pelayanan saya kali ini semakin matang & didewasakan oleh Allah. Saya tidak terlalu peduli pada berapa banyak undangan khotbah keliling yang saya terima dalam satu tahun. Bukan hal ini lagi yang saya kejar. Saya cuma mau tahu Tuhan mau apa dari hidup saya. Saya ingin hidup berkenan kepada-Nya. Saya ingin menjadi seorang hampa Tuhan yang "accountable & responsible" dihadapan Tuhan. Mungkin saat ini saya masih jauh dari ini semua. Namun saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang Allah berikan untuk melayani DIA. Saya menerima cuma-cuma, dan saya akan berikan secara cuma-cuma. Seperti janji Allah di awal pelayanan penggembalaan saya: "Kamu tidak hidup dari pemberian orang lain, melainkan hidup dari pemberianmu. Mulailah menabur & Aku akan memberkatimu." Terima kasih untuk janji-Mu Bapa. i love you so much...

Minggu, 15 Januari 2012



Sampai sekarang saya masih sering mendengar pertanyaan: "what is your job?" Pekerjaan seseorang menggambarkan banyak hal tentang orang tersebut. Namun pekerjaan bukan sekedar masalah status atau jabatan. Bukan apa yang tertera di kartu nama kita. Pekerjaan adalah sebuah pengabdian diri, bersedia berbagi & menolong orang lain sesuai dengan kemampuan ataupun ketrampilan yang kita miliki, untuk kebaikan orang lain. Pada umumnya orang mengukur pekerjaan berdasarkan posisi, nama perusahaan, besarnya gaji & tunjangan. Memang betul bahwa hal tersebut sangat penting sekali. Namun, jika kita bekerja hanya untuk status & uang, maka kita bisa kehilangan hakikat kerja sebagaimana Allah merancangkannya untuk kita.

Banyak orang berpikir bahwa pekerjaan seorang pendeta (pastor atau gembala jemaat) adalah berkhotbah. Saya sering mengatakan bahwa tugas pendeta (pastor atau gembala) bukan HANYA berkhotbah. Berkhotbah hanya salah satu dari sekian banyak tugas pelayanan yang dilakukan oleh seorang pastor atau gembala jemaat.

Hari-hari ini saya sedang mengatasi sebuah permasalahan yang sangat serius di dalam jemaat. Dibutuhkan karakter, kepemimpinan, doa, hikmat & kerja sama tim yang baik untuk bisa membuat keputusan dengan benar. Saya harus membuat keputusan yang cukup sulit. Menghadapi banyak serangan & kritik. Disalahpahami. Terancam kehilangan hubungan-hubungan tertentu.

Beberapa tahun lalu (mungkin masih sampai sekarang), banyak orang ingin menjadi pendeta. Kisah pertobatan yang dramatis, membuat orang-orang tertentu dikagumi karena kesaksian-kesaksian mereka yang luar biasa. Manusia suka dengan pengaruh, posisi & kekuasaan. Pujian orang lain bisa membawa kita ke jalur di mana sebenarnya bukan bagian kita. Tiba-tiba "menjadi pendeta" menjadi trend & tujuan dari banyak orang Kristen. Anak muda, pengusaha, artis, dan berbagai profesi lainnya, berbondong-bondong meninggalkan pekerjaan mereka yang sebelumnya untuk menjadi pendeta. Jika itu memang panggilan Tuhan, tidak masalah. Namun, berapa banyak orang yang menjadi pendeta & menggembalakan gereja tahu persis apa tugas & pekerjaan mereka? Apakah mereka tahu bagaimana mengajar, memuridkan, mengkonseling dengan benar, melakukan "truth confrontation", mendoakan orang lain, merintis gereja, dll? Membuat keputusan dalam tingkat kepemimpinan rohani bukan perkara mudah. Kita tidak bisa memutuskan dengan pertimbangan manusia. Seperti kata Edwin Louis Cole, "hikmat manusia mengacaukan kebenaran Allah." That's true!

Sebagai pendeta muda, saya belajar menghayati panggilan, peran, tigas & tanggungjawab saya. Ada saat di mana saya melakukan pemberkatan nikah, membaptis orang, melakukan penyerahan anak di gereja, berkhotbah, membangun hubungan dengan gereja/pendeta lain... Saya belajar memahami panggilan hidup saya bukan hanya sebatas jabatan & status, melainkan apa yang Tuhan inginkan dari saya di waktu-waktu tertentu.

Hari ini saya sudah melayani konslutasi 4 orang melalui BBM. Menjawab pertanyaan mereka, memberi saran & pengajaran sesuai Firman Tuhan. Pekerjaan saya tidak terbatas oleh ruang & waktu. Saya harus siap kapan pun Allah hendak memakai saya. Itu sebabnya, saya belajar mempersiapkan diri sebaik mungkin setiap hari. Displin doa puasa minimal seminggu sekali, membaca 50 buku setahun, setiap hari membaca 9 pasal ayat Firman Tuhan, melakukan pembapaan & pemuridan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin masa depan & membangun hubungan dengan orang-orang yang saya pimpin.

Beberapa pengalaman rohani yang Allah berikan membuat saya tidak ingin lagi untuk "kejar setoran" (khotbah keliling dari satu gereja ke gereja lain setiap minggu dengan harapan mendapatkan banyak uang persembahan kasih). Saya tahu bahwa konsekuensi finansial untuk keputusan ini. Namun, saya memilih untuk menjalaninya tanpa rasa takut. Larry S. Julian dalam buku God is My Success mengatakan bahwa finansial freedom adalah ketika kita berani mengambil keputusan yang benar tanpa takut akan konsekuensi finansial, karena kita percaya bahwa Allah itu sendirilah sumber berkat.

Dampak yang muncul dalam setiap pelayanan saya sebenarnya merupakan hasil dari apa yang saya lakukan setiap hari. Apa yang orang tidak lihat ketika saya berdoa di kamar. Membaca & meneliti Firman Tuhan untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Masih terjaga untuk membaca buku ketika isteri saya sudah tertidur lelap.

Jika kita tidak menghargai panggilan Tuhan, kita akan kehilangan panggilan tersebut. Iblis ingin mengaborsi panggilan Tuhan dalam hidup kita, sehingga ia dapat menghancurkan banyak kehidupan. Tahun 2012, saya berkomitmen lebih lagi untuk membangun kehidupan roh saya sebagai seorang pemimpin, karena percaya bahwa waktunya sudah sangat singkat. Status pekerjaan saya tidak sepenting panggilan hidup saya. Saya akan membayarnya dengan hidup & nyawa saya sehingga semua yang Allah rencanakan terjadi dalam hidup saya.

Jumat, 13 Januari 2012



7 January 2012, untuk kedua kalinya saya memberkati pasangan yang menikah. Kali ini pasangan begitu spesial. Ia anak rohani saya. Perkenalan kami sudah hampir 12 tahun. Tuhan mengizinkan saya terlibat dalam berbagai keputusan penting dalam hidupnya & menyaksikan kasih setia Tuhan yang begitu hebat dalam setiap kesempatan. Tuhan tidak pernah menyerah menghadapi setiap kegagalan & kesalahannya. Dalam keberhasilan yang paling menggembirakan, hingga kegagalan yang paling memalukan, Ia selalu ada bersama-sama dengan kita.

Saya senang dia menemukan pasangan yang sepadan. Sesi-sesi konseling pra-nikah kami lalui tahap demi tahap, hingga saat yang dinanti pun tiba.

Saya tiba di Hotel Padma Bandung dengan kondisi tubuh yang kurang baik akibat kurang istirahat selama 3 hari. Belum lagi saya tidak cukup siap dengan pesan yang harus saya khotbahkan di ibadah pemberkatan nikah keesokan sorenya.

Dalam melayani pekerjaan Tuhan, saya belajar untuk tidak menganggap remeh setiap kesempatan untuk melayani Dia. Mentalitas menganggap remeh menyebabkan seseorang tidak siap & tidak memberi yang terbaik. Akibatnya adalah penyesalan. Banyak penyesalan yang telah saya alami di dalam hal berkhotbah, yang disebabkan oleh mentalitas ini: khotbah yang terdengar asal-asalan & tidak siap. Berbagai tanggapan yang kurang menyenangkan menjadi salah satu konsekuensinya. Saya tahu itu bukan salah siapa-siapa, itu salah saya & saya harus berubah.

Menjelang pemberkatan nikah anak rohani saya, pikiran saya tidak tenang. Selain kondisi badan yang kurang sehat, saya juga sedang memikirkan suatu masalah yang sedang terjadi di dalam jemaat. Saya betul-betul merasa "stuck." Tidak bisa berpikir. Bahkan saya kesulitan membaca Firman Tuhan karena susahnya berkonsntrasi akibat kurang istirahat & kepala cenat-cenut karena masuk angin. Malam itu saya berusaha keras menyelesaikan komitmen harian saya membaca 9 pasal ayat Alkitab (5 Perjanjian Lama & 4 Perjanjian Baru). Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa.

Secara ajaib Tuhan membantu saya mempersiapkan pesan pemberkatan nikah sekitar 1 jam menjelang pemberkatan nikah di mulai. Saya begitu bersemangat sore itu. Pemberkatan Nikah yang seharusnya dilakukan outdoor, berubah menjadi indoor karena hujan turun sore itu. Luar biasa, pemberkatan nikah sore itu berjalan dengan sangat baik. Hal yang tidak disangka, malam itu saya menerima begitu banyak pujian baik dari pihak keluarga, tamu maupun pendeta-pendeta lain yang hadir di sana. Jujur saja, sebenarnya saya merasa tidak layak menerima semua pujian itu. Saya bukan orang yang cukup fasih membawakan khotbah di acara se-resmi ini. Apalagi melihat ketidaksiapan saya sebelumnya. Sungguh, ini semua adalah anugerah Tuhan.

Hari itu saya mengalami mujizat & pertolongan Tuhan dalam menyiapkan khotbah. Bagaimana seandainya saya berkhotbah dengan sangat buruk sehingga mengacaukan kebahagiaan orang lain (kedua mempelai & keluarga). Pelayanan adalah sebuah kepercayaan. Setiap kepercayaan yang diberikan kepada kita layak untuk dilakukan dengan sebaik mungkin.

Setelah acara pemberkatan nikah, saya kembali ke kamar hotel untuk ganti kemeja & dasi. Saya siap untuk menikmati resepsi pernikahan dengan warna kemeja & dasi yang berbeda. Saya berpikir setidaknya orang-orang yang tadi hadir di acara pemberkatan nikah sore tidak akan terlalu menyadari atau mengenali kehadiran saya di tengah kerumunan. Ketika hendak memasuki ruang resepsi, seorang ibu berbaju orange yang baru saja melewati saya, kembali untuk menyapa saya sambil berkata "Pak pendeta, terima kasih. Tadi khotbahnya sangat bagus. Saya sangat terberkati." Perasaan malu bercampur senang melingkupi hati saya. Setidaknya pesan yang saya sampaikan bukan hanya memberkati kedua mempelai, tetapi juga semua yang hadir. Saya lega karena Roh Kudus menolong saya untuk memberikan pesan yang terbaik di hari pernikahan anak rohani saya. Sampai kapan pun saya tetap ingin bisa dipercaya. Karena itu, saya harus terus belajar untuk tidak menganggap remeh apa yang dipercayakan kepada saya.


Saya sedang membaca buku "Berpikir dan Berjiwa Besar" yang ditulis oleh David J. Schwartz. Saya merasa tertemplak ketika membaca sebuah cerita dari buku tersebut.

Lima atau enam tahun yang lalu, seorang profesor yang sangat ahli mengatakan kepada saya tentang rencananya untuk menulis buku, biografi dari tokoh kontroversial beberapa dasawarsa yang lalu. gagasannya sangat menarik; gagasan tersebut hidup & mempesona. Profesor tersebut tahu apa yang ingin ia katakan, & ia mempunyai keahlian & energi untuk mengatakannya. Proyek tersebut ditakdirkan untuk memberinya imbalan berupa kepuasan batin yang besar, prestise & uang.

Musim semi yang lalu, saya bertemu kembali dengan teman saya ini & dengan lugu bertanya kepadanya apakah buku tersebut sudah hampir selesai. (Ini kesalahan besar; ini membuka luka lama).

Belum, ia belum menulis buku itu. Ia bergulat dengan dirinya sendiri untuk sesaat seolah ia sedang berdebat dengan dirinya apakah perlu menjelaskan alasannya. Akhirnya ia mengatakan bahwa ia terlalu sibuk, ia mempunyai "tanggungjawab" lebih besar & benar-benar tidak dapat menulis bukunya.

Setiap hari ribuan orang mengubur gagasan yang bagus karena mereka takut untuk melaksanakannya. Gagasan yang bagus saja tidak cukup. Gagasan sederhana yang dilaksanakan, & dikembangkan, adalah seratus persen lebih baik daripada gagasan hebat yang mati karena tidak ditindaklanjuti.

Sejak beberapa bulan lalu, saya ingin sekali menulis sebuah buku berjudul "Equipped For Hope." Ketika hasrat tersebut muncul di hati saya, saya menulis beberapa draft tentang buku tersebut. Sampai saya sadari bahwa saya tidak pernah lagi menyentuhnya. Penundaan, entah apapun alasannya, membuat seseorang menjadi tidak produktif. Saya harus kembali meneruskan apa yang telah saya mulai, sehingga di tahun ini, buku "Equipped For Hope" bisa terbit & menjadi berkat bagi banyak orang.