Suatu kali saya merasakan dorongan Roh Kudus untuk berdoa bagi seseorang. Maksud saya, berdoa langsung untuk seseorang yang bukan Kristen. Pikiran saya menyimpulkan, orang tersebut tidak memiliki masalah yang berarti. Riskan rasanya menawarkan diri untuk berdoa untuknya. Kesempatan berupa waktu yang cukup untuk mengubah keputusan saya telah Allah berikan. Namun yang menahan saya untuk tidak melakukannya ialah: sikap pengecut yang saya miliki.


Setelah kesempatan tersebut pergi, ada penyesalan & rasa bersalah di hati saya. Logika saya telah mengalahkan dorongan Roh Kudus. Rasa bersalah yang saya rasakan membantu saya untuk mengenali sesuatu di dalam diri saya. Sikap pengecut. Itulah yang harus ditaklukkan.

Kita suka jika terlihat berani di mata orang lain. Kita tidak ingin mereka tahu bahwa sebetulnya kita pengecut.

Allah perlu berulang kali menguji hati kita, agar kita dapat membereskan berbagai penghalangi bagi kehidupan yang berbuah. Pagi ini saya sedang membaca sebuah buku yang berjudul Broken For A Purpose yang ditulis oleh Gissela Yohannan. Ada sebuah kutipan menarik yang saya temukan di buku itu.

But why would God want to test anyone if He is  all-knowing, as the Bible says in these and many other Scriptures: 

“For the LORD searches all hearts, and understands every intent of the thoughts” (1 Chronicles 28:9).

 “For He knows the secrets of the heart” (Psalm 44:21).
 “. . . and able to judge the thoughts and intentions of the heart. . . . All things are open and laid bare to the eyes of Him” (Hebrews 4:12–13).

"He did not need any one to bear witness concerning man for He Himself knew what was in  man” (John 2:25). 

According to these verses, God doesn’t need to see the results from my testing. He knows me perfectly without it. So why then would He want to test me? Because He wants me to see the truth about my life as well! The test is not at all for Him. The test is for me, because I don’t know my own heart!

Allah menguji kita bukan karena Ia ingin mengetahui sesuatu tentang diri kita. Ia adalah Allah Yang Maha Tahu. Ia telah mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam kita. Allah menguji kita untuk membantu kita mengenali diri kita sendiri. Ada pewahyuan diri (self-revelation) yang hendak ia singkapkan kepada kita. Sebuah langkah bagi perubahan yang menjadi tanggungjawab kita.

Hidup kita setiap hari harus digerakkan oleh sense of urgency. Melakukan kehendak Allah, mengasihi Allah & sesama serta melakukan Amanat Agung melupakan sesuatu yang urgent untuk kita lakukan. Sifat pengecut di dalam diri kita akan menghalangi kita untuk menyelesaikan misi yang Allah berikan.

Sikap pengecut lahir karena kita terlalu mencintai diri kita sendiri. Kita hanya mengejar apa yang baik, apa yang nyaman, aman & menyenangkan bagi kita. Kita menghindar dari resiko yang harus bersedia kita hadapi untuk hidup dalam rencana Allah. Kita takut dengan konflik. Dan berusaha menghindar dari ketidaknyamanan & rusaknya sebuah hubungan, ketika Allah hendak membawa kita untuk mengerjakan misi Kerajaan-Nya.

Kita perlu bertobat dari "sikap pengecut" yang kita miliki. Sikap pengecut yang menandai ketidakmatangan jiwa kita. Sikap pengecut ini perlu disalibkan. Sikap pengecut yang membuat kita sama seperti Simon Petus, hanya pandai bicara tapi tidak melakukan apa yang kita katakan. Simon Petrus menyesali sikap pengecutnya yang membawa dirinya menyangkal Yesus tiga kali. Ia berani hanya ketika situasinya mendukung. Peristiwa Jumat Agung menjadi sebuah pewahyuan diri yang menyingkapkan "sikap pengecut" yang ada di dalam diri Simon. Dan hari itu, Yesus mati bagi disalibkan bagi sikap pengecut Simon, supaya Simon memiliki keberanian untuk hidup & menyelesaikan kehendak Allah.