Senin, 03 September 2012
From Realistic To Idealist
Pengalaman kehilangan visi sangat tidak menyenangkan. Kehilangan visi akan menyebabkan kita kehilangan gairah (passion).
Seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, ada banyak orang yang menasehati saya untuk "be realistic!" Sepertinya udah bukan umurnya lagi untuk hidup idealis. Nggak kalah, pihak keluarga biasanya menjadi orang no.1 untuk mendorong kita menjadi lebih realistis dalam hidup.
Bahasa lain dari "realistis" adalah "main aman." Tiba-tiba saja saya mulai muak dengan nasihat-nasihat yang mendorong saya untuk bermain aman di dalam kehidupan.
Saya masih ingat salah satu khotbah Ps. Brian Houston ketika ia datang ke JPCC tahun 2011. Ps. Brian Houston berbicara bagaimana kitanharus berani mengambil resiko dalam hidup. Tanpa resiko tidak akan ada kebesaran. Kita ditantang untuk membayar harga untuk melihat visi Allah itu tergenapi di dalam hidup kita.
Saat kita bingung karena kehilangan visi, ada baiknya kita kembali ke dasar. Saya kembali membuka buku-buku catatan saya di masa lalu, membuka buku-buku yang pernah menginspirasi saya di awal-awal pelayanan saya, duduk dengan beberapa orang muda yang belum menjadi realistis, kembali kepada pesan Tuhan yang pernah saya terima di tahun-tahun penting dalam perjalanan rohani saya.
Waktu tidak akan menunggu kita. Ia akan terus berjalan, entah kitabsiap atau tidak siap. 5 - 10 tahun dari sekarang, apakah kita akan menjadi lebih baik. Di manakah kita akan berada.
Masihkah pesan-pesan mengenai hukum potensi yang pernah saya baca dari buku Dr. Myles Munroe dapat dihidupkan kembali? Apakah pewahyuan tentang "tujuan hidup" dari buku The Purpose Driven Life yang ditulis oleh Rick Warren merupakan sesuatu yang basi? Apakah pewahyuan-pewahyuan dari buku John Mason untuk hidup sebagai orginal dan keluar dari mentalitas mediokritas masih dapat mendobrak keragu-raguan di hati?
John C. Maxwell berhasil menemukan kemaksimalan hidupnya, justru di usia tuanya. Ia menjadi semakin produktif ketika ia memutuskan untuk meninggalkan penggembalaan & terjun sebagai guru kepemimpinan bagi banyak orang di dunia.
Kita masih terlalu mudah untuk menyerah. Menyerah dengan mimpi-mimpi yang kadang mengintimidasi diri kita sendiri. Karena kita mendapati bahwa mimpi-mimpi itu jauh lebih besar daripada kemampuan kita. Itu sebabnya kita harus bergantung sepenuhnya pada Allah. Ialah meletakkan visi di hati kita. Sehinggankitantahuuntuk apa Ia menciptakan kita. Ia jugalah yang akan memampukan kita untuk menghidupi visi tersebut, bukan dengan kekuatan daging, melainkan dengan hidup menurut Roh.
Jika kita benar-benar menginginkannya, maka kita akan menemukannya. Tahun 2004, saya memahami visi Allah seperti halnya perumpamaan Harta Terpendam & Mutiara Berharga (Matius 13:43-45). Kita harus mencarinya, & ketika menemukannya kita harus bersedia membayar harganya dengan "menjual segala milik kita."
Apakah anda sepakat dengan saya untuk tidak berhenti di sini? Kembali melanjutkan petualangan rohani ini. Di mulai dengan mencari apa yang menjadi visi Allah bagi hidup kita, & bersiap untuk menjual seluruh milik kita untuk terjadinya sebuah pertukaran. Ini bukan harga yang impas. Meskipun kita membayarnya dengan seluruh milik kita, kita tidak akan pernah mengalami kerugian. Biarkan Sorga membuktikan apa yang telah ditulisNya.
Senin, 03 September 2012
From Realistic To Idealist
Diposting oleh
Ferry Felani
09.02
Pernahkah anda mengalami kehilangan visi? Tiba-tiba anda seperti kehilangan arah dan tidak ada sesuatu yang ingin dituju. Kehilangan visi merupakan sebuah keadaan yang berbahaya. Saat sessorang tidak memiliki visi, maka ia akan mudah tergoda dengan berbagai tawaran yang datang. Beberapa hari lalu saya mendengarkan CD khotbah Ps. Jeffrey Rachmat saat ia berbicara di dalam acara Relevant Leadership 2006. Beliau mengatakan bahwa orang yang nganggur (nggak punya kerjaan) yang mau diajak ke mana aja (apalagi jika tujuannya nggak jelas).
Pengalaman kehilangan visi sangat tidak menyenangkan. Kehilangan visi akan menyebabkan kita kehilangan gairah (passion).
Seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, ada banyak orang yang menasehati saya untuk "be realistic!" Sepertinya udah bukan umurnya lagi untuk hidup idealis. Nggak kalah, pihak keluarga biasanya menjadi orang no.1 untuk mendorong kita menjadi lebih realistis dalam hidup.
Bahasa lain dari "realistis" adalah "main aman." Tiba-tiba saja saya mulai muak dengan nasihat-nasihat yang mendorong saya untuk bermain aman di dalam kehidupan.
Saya masih ingat salah satu khotbah Ps. Brian Houston ketika ia datang ke JPCC tahun 2011. Ps. Brian Houston berbicara bagaimana kitanharus berani mengambil resiko dalam hidup. Tanpa resiko tidak akan ada kebesaran. Kita ditantang untuk membayar harga untuk melihat visi Allah itu tergenapi di dalam hidup kita.
Saat kita bingung karena kehilangan visi, ada baiknya kita kembali ke dasar. Saya kembali membuka buku-buku catatan saya di masa lalu, membuka buku-buku yang pernah menginspirasi saya di awal-awal pelayanan saya, duduk dengan beberapa orang muda yang belum menjadi realistis, kembali kepada pesan Tuhan yang pernah saya terima di tahun-tahun penting dalam perjalanan rohani saya.
Waktu tidak akan menunggu kita. Ia akan terus berjalan, entah kitabsiap atau tidak siap. 5 - 10 tahun dari sekarang, apakah kita akan menjadi lebih baik. Di manakah kita akan berada.
Masihkah pesan-pesan mengenai hukum potensi yang pernah saya baca dari buku Dr. Myles Munroe dapat dihidupkan kembali? Apakah pewahyuan tentang "tujuan hidup" dari buku The Purpose Driven Life yang ditulis oleh Rick Warren merupakan sesuatu yang basi? Apakah pewahyuan-pewahyuan dari buku John Mason untuk hidup sebagai orginal dan keluar dari mentalitas mediokritas masih dapat mendobrak keragu-raguan di hati?
John C. Maxwell berhasil menemukan kemaksimalan hidupnya, justru di usia tuanya. Ia menjadi semakin produktif ketika ia memutuskan untuk meninggalkan penggembalaan & terjun sebagai guru kepemimpinan bagi banyak orang di dunia.
Kita masih terlalu mudah untuk menyerah. Menyerah dengan mimpi-mimpi yang kadang mengintimidasi diri kita sendiri. Karena kita mendapati bahwa mimpi-mimpi itu jauh lebih besar daripada kemampuan kita. Itu sebabnya kita harus bergantung sepenuhnya pada Allah. Ialah meletakkan visi di hati kita. Sehinggankitantahuuntuk apa Ia menciptakan kita. Ia jugalah yang akan memampukan kita untuk menghidupi visi tersebut, bukan dengan kekuatan daging, melainkan dengan hidup menurut Roh.
Jika kita benar-benar menginginkannya, maka kita akan menemukannya. Tahun 2004, saya memahami visi Allah seperti halnya perumpamaan Harta Terpendam & Mutiara Berharga (Matius 13:43-45). Kita harus mencarinya, & ketika menemukannya kita harus bersedia membayar harganya dengan "menjual segala milik kita."
Apakah anda sepakat dengan saya untuk tidak berhenti di sini? Kembali melanjutkan petualangan rohani ini. Di mulai dengan mencari apa yang menjadi visi Allah bagi hidup kita, & bersiap untuk menjual seluruh milik kita untuk terjadinya sebuah pertukaran. Ini bukan harga yang impas. Meskipun kita membayarnya dengan seluruh milik kita, kita tidak akan pernah mengalami kerugian. Biarkan Sorga membuktikan apa yang telah ditulisNya.
0 komentar:
Posting Komentar