Kadang kita berusaha membenarkan kemarahan kita... karena memang kita merasa benar. Apa yang membuat kita marah, seringkali menyingkapkan titik-titik kelemahan kita. Biasanya berupa sebuah ketakutan yang harus di atasi, sebelum akhirnya membatasi hidup kita untuk mengerjakan hal-hal yang besar bersama dengan Allah. Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah buku karangan seorang teolog bernama R.C. Sproul yang berjudul "What Can I Do With My Guilt?" Melalui buku tersebut saya belajar bahwa RASA BERSALAH seharusnya membawa kita pada REAL FORGIVENESS and REAL REPENTANCE. Rasa bersalah tidak selamanya buruk. Iblis dapat menggunakan rasa bersalah untuk menuduh (
accuse) kita; namun Roh Kudus dapat menggunakan rasa bersalah untuk menyadarkan & meyakinian kita akan kehendak Allah.
Ketakutan-ketakutan kita seringkali menjadi penyebab dari kemarahan-kemarahan kita. Semakin banyak ketakutan yang kita miliki, sebanyak sering kita marah. Mungkinkah ketika kita menemukan orang yang sering marah, sebenarnya kita juga menemukan orang yang takut. Terkadang (mungkin tidak semua orang), orang yang marah adalah orang yang memiliki ketakutan.
Melalui kemarahan-kemarahan saya, saya belajar mengenali ketakutan-ketakutan saya. Tidak perlu terlalu "mellow" dan hanyut dengan perasaan mengasihani diri.... setiap kali saya merasa gagal, saya belajar memutuskan untuk cepat bangkit. Pekerjaan Allah begitu besar & banyak. Tidak ada waktu untuk mengasihani diri. Orang yang sering mengasihani diri adalah orang yang kalah. Setiap kesalahan yang kita buat harus dengan segera membawa kita ke kaki salib Kristus & menerima kasih karunia-Nya yang menyembuhkan jiwa kita dari rasa bersalah & perasaan tidak layak.
Tidak terlalu sulit untuk mengenali kelemahan-kelemahan saya ketika kemarahan mulai muncul. Yang lebih sulit adalah: menyingkarkan ketakutan mengenai "pandangan orang lain" ketika mereka mengetahui kelemahan saya. Atau lebih tajamnya lagi, bagaimana pandangan orang yang tidak / kurang mengenal saya jika mereka memgetahui titik-titik kelemahan saya. Orang-orang yang telah mengenal kita, biasanya mudah membuat kita merasa aman & nyaman. Namun, orang yang baru mengenal kita... kita baru mulai menentukan dengan reputasi seperti apa kita akan dikenal. Reputasi seseorang mudah melekat dalam diri seseorang. Bahkan secara umum, reputasi yang buruk lebih sulit disingkirkan daripada reputasi yang baik. Reputasi yang terbentuk dalam benak seseorang tentang kita, biasanya akan menjadi semacam kacamata yang akan digunakan untuk menilai kita.
Beberapa waktu terakhir ini, saya menyadari bahwa penilaian yang saya buat mengenai orang lain seringkali tidak akurat. Hal tersebut bukan saja membuat saya merasa malu, tapi tiba-tiba saja saya menyadari potensi bahaya yang dapat ditimbulkannya. Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin ialah: kemampuan untuk menilai orang lain dengan benar. Penilaian-penilaian yang kita buat akan menetukan keputusan, pilihan & sikap kita terhadap seseorang. Kadang saya menyesal, mendapati diri saya salah membuat penilaian terhadap orang lain. Bahkan sebagian besar masalah yang harus saya hadapi seringkali merupakan hasil dari penilaian yang salah.
Saya kembali belajar dari NOL. Seperti anak kecil, saya seperti baru mulai belajar melihat dunia. Dunia kepemimpinan. Dunia pelayanan. Dunia hubungan dan jejaring. Saya belajar menilai orang-orang di sekitar saya dengan kacamata yang baru, yaitu: kacamata kehendak Allah. Apaa kehendak Allah atas orang itu? Pertanyaan ini jadi sering saya utarakan kepada diri saya sendiri. Kacamata kehendak Allah membantu saya membuang berbagai penghakiman, dan mulai menjadikan saya pendoa bagi orang-orang di sekitar saya.
Jonathan Pattiasina mengatakan bahwa salah satu tanda MANUSIA BARU ialah: menilai dengan kacamata yang baru. Menilai menurut ukuran Allah kata rasul Paulus.
"Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia.
Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian."
(2 Korintus 5:16)
Seringkali ketakutan & kemarahan yang kita alami, terjadi karena kita menilai segala sesuatu menurut ukuran manusia, bukan menurut ukuran Allah. Setelah kemarahan saya reda, yang tersisa ialah rasa bersalah. Kembali saya harus menggerakkan hati saya untuk datang ke salib Tuhan & kembali mengalami kasih karunia-Nya yang berlimpah atas berbagai kebodohan dalam penilaian yang saya buat.
Sebagai seorang pemimpin rohani, saya rindu untuk terus diperbaiki oleh Allah. Saya ingin hidup sebagai MANUSIA BARU yang menilai segala sesuatu menurut ukuran Allah. Saya ingin orang-orang di sekitar saya tidak takut terhadap penilaian-penilaian yangsaya buat tentang diri mereka, sekeras apa pun pesan yang saya khotbahkan. Pesan yang keras lahir karena komitmen terhadap sebuah misi untuk memanifestasikan Kristus untuk menghancurkan setiap pekerjaan-pekerjaan Iblis yang dibangun di sekitar saya; dengan tetap memiliki hati Tuhan yang lemah lembut yang bebas dari segala prasangka, asumsi, atau ketidaksukaan untuk menilai segala sesuatu menurut ukuran Kristus. Saya hanya tidak ingin prnilaian-penilaian saya menghalangi saya untuk hidup menggenapi rencana Allah. Saya hanya tidak ingin penilaian-penilaian saya memberikan sumbangsih bagi Iblis untuk mendaratkan rencanaNya. Saya tidak ingin penilaian-penilaian saya menghalangi saya menjadi seorang prajurit yang berkenan kepada Komandannya. Saya hanya tidak ingin penilaian yang saya buat justru menghalangi orang lain untuk hidup di dalam rencana Allah.