Rabu, 12 September 2012
The Pareto Principle (20/80): Kemampuan Menilai & Memilih Orang-Orang
Untuk mendapatkan hasil 80% kita hanya perlu memfokuskan diri pada 20% hal yang paling penting. Di dalam kepemimpinan, kita harus meletakkan fokus kita pada 20% orang untuk kita kembangkan agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Terlalu sering, fokus saya terlalu melebar.Saya berusaha menolong semua orang. Bahkan menghabiskan waktu & energi saya untuk membangun orang-orang yang tidak mau berubah. Sedangkan mereka yang hmau berubah justru terbengkalai.
Memasuki masa-masa yang "crucial" di dalam kepemimpinan, membuat saya lebih "aware" terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan yang saya telah pelajari selama ini. Baru semalam saya selesai membaca buku Learship 101 yang ditulis oleh John C. Maxwell kira-kira 10 tahun yang lalu. Apa yang sedang saya alami di dalam kepemimpinan saya hari-hari ini membuat saya semakin mengerti pentingnya prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut. Selama ini saya secara tidak sengaja mengabaikannya, karena tidak melihat pentingnya prinsip-prinsip tersebut sampai akhirnya ketika permasalahan-permasalahan mulai timbul, barulah prinsip-prinsip itu terlihat penting.
Kadang kita "berpikir terlalu positif" akan apa yang sedang kita lakukan hari-hari ini. Rasa bangga (proud) terhadap hasil-hasil yang terlihat dari kepemimpinan kita dapat membuat kita terlena, berpuas diri & menjadi kurang waspada. Itu sebabnya salah satu hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh setiap pemimpin untuk mengalami kemajuan, ialah EVALUASI. Melakukan evaluasi secara berkala akan membantu kita mtuk mengembangkan diri & mengatasi kekurangan kita. Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang maksimal, dibutuhkan mata yang obyektif. Kita harus melihat diri kita sebagaimana adanya.mKita haus berani berhadapan dengan realita, fakta & kebenaran.
Mengevaluasi orang-orang yang berada satu tim dengan kita juga sangat penting untuk mengatasi kekurangan & mengembangkan kemampuan tim. Terlalu sering saya menyangkal kelemahan anggota tim & "terlalu mudah percaya" akan seseorang. Pada prinsipmya bersikap positif & mempercayai anggota tim kita tentu merupakan hal yang sangat baik. Namun bersikap positif bukanlah menyangkali keadaan. Sikap positif yang salah ialah sikap positif yang disertai sikap menyangkal kelemahan, fakta & kebenaran.
Pemahaman akan prinsip-prinsip kepemimpinan membuat saya memandang setiap tim dengan perspektif yang berbeda. Saya bukan hanya perlu tahu kelebihan mereka, tetapi juga kelemahan mereka.
Ketika saya membuat list mengenai orang-orang yang ada di dalam kepemimpinan saya & menilai mereka berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang saya pahami, saya mendapati 20% orang yang harus saya prioritaskan ialah orang-orang yang berbeda dengan penilaian atau dugaan saya sebelumnya.
Sejak tahun yang lalu, saya mulai memahami bahwa para pemimpin yang sukses bukan hanya bisa bekerja sama dengan orang lain, mereka juga mampu menilai orang lain dengan tepat serta memilih anggota tim mereka dengan benar.
Kadang saya merasa miliki kemampuan ini. Namun ternyata saya salah. Cara saya menilai & memilih orang dalam kepemimpinan perlu diperbaiki.
Saya memiliki kebiasaan yang harus diubah. Kebiasaan ini sangat menyangkut dengan masalah prioritas. Saya sangat suka menyimpan yang terbaik untuk dinikmati terakhir. Ketika makan di sebuah restaurant, bagian terbaik biasanya akan saya nikmati belakangan. Saya akan menikmati makanan di mulai dari yang biasa hingga ke yang paling nikmat. Masalahnya, ketika saya menikmati bagian terbaik tersebut, saya sudah agak kenyang. Alangkah lebih baik jika saya menikmati bagian terbaik di awal, ketika perut saya masih sangat lapar. Tentu makanan tersebut akan sangat lezat di mulut saya.
Belum lama ini saya membeli 30 buku ketika melayani di Sydney, Australia. Ketika memutuskan mulai untuk membaca buku-buku tersebut, saya selalu menyimpan buku-buku terbaik untuk dibaca "nanti." Padahal hal-hal terbaik harusnya kita nikmati lebih dulu, buku-buku terbaik kita baca lebih dulu, & orang-orang terbaik kita prioritaskan untuk dibangun lebih dulu sehingga kita bisa memperkuat "influence" untuk membangun orang-orang yang dalam kepemimpinan kita.
Meskipun buku-buku tentang kepemimpinan semakin banyak, ternyata menjadi seorang pemimpin tetap tidak mudah. Menjadi pemimpin bukan tentang apa yang kita ketahui, melainkan tentang apa yang kita lakukan. Setiap pemimpin dinilai dari tindakan, keputusan & pilihan yang ia buat. Pengetahuan bukanlah kekuatan sampai pengetahuan itu kepemimpinan.
Perasaan "sudah tahu" kadang lahir dari kesombongan hati yang dapat menghambat "pertumbuhan" pribadi kita. Agarvmenjadi pemimpin yang terus bertumbuh & meningkatkan pemgaruh yang kita miliki, kita harus belajar menjadi NOL sehingga kita selalu bisa diajar & belajar banyak hal.
Rabu, 05 September 2012
Kehilangan Pengurapan
Saul mencoba menjalankan tugasnya sebagai raja, tanpa pemgurapan seorang raja.
Kehilangan pengurapan bukan sekedar kehilangan kuasa Tuhan, melainkan kehilangan kepercayaan dari Tuhan.
Melihat kehidupan rohani yang sembrono dari beberapa orang Kristen & hamba Tuhan, sepertinya hari-hari ini banyak orang tidak takut kehilangan pengurapan. Jika kita tidak mengetahui tujuan pengurapan, kita tidak akan merasa membutuhkannya. Bahkan ketika kita kehilangan pengurapan tersebut, kita masih beranggapan bahwa hal itu bukan masalah besar.
Hey, kehilangan pengurapan merupakan sebuah masalah serius! Kehilangan pengurapan berarti kehilangan keperayaan dari Allah. Dibutuhkan integritas untuk mengaktifkan & melipatgandakan pengurapan di dalam roh kita.
Mereka yang berjalan di dalam pengurapan akan menyaksikan hasil-hasil yang berbeda dari mereka yang tidak berjalan di dalam pemgurapan.
MELAYANI DENGAN ROH KEPEMIMPINAN YANG BENAR: Mengalahkan Rasa Tidak Aman & Sikap Hati Yang Salah Dalam Diri Kita
Yang harus kita minta agar Tuhan mengirimkan kepada kita ialah "pekerja," bukan artis, CEO, bisnisman, maupun musisi handal. Mintalah pekerja!
Hari-hari ini kata "melayani" sering digunakan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan pengaruh, kendali, popularitas maupun uang. Kata ini telah diselewengkan begitu rupa sehingga banyak orang mulai bersikap curiga kepada pelayanan-pelayanan sejati.
Melayani adalah cara Allah mengikis daging kita. Pelayanan yang sejati bukan memberikan kenyamanan kepada daging. Melalui pelayanan kita dipanggil untuk mendahulukan orang lain. Ini tentu sangat bertentangan dengasifat dasarvmanusia yang memiliki kecenderungan untuk bersikap egois.
Suatu hari saya begitu kelelahan dengan berbagai aktifitas & kesibukan yang ada. Bahkan hal-hal kecil pun begitu menyibukan & menguras energi saya. Dalam keadaan letih, saya masih harus berhadapan dengan sikap orang lain yang cukup "bossy" (sok main suruh & perintah). Saat kejengkelan mulai menyelinap masuk, Roh Kudus pun tidak kalah cepat untuk memanfaatkan peluang untuk memuridkan seorang murid yang sedang tidak siap belajar.
Di tengah kelelahan saya, Roh Kudus berbisik: "Kamu melayani karena kamu pemimpin! Melayani adalah cara Alkitabiah untuk menjadi besar!" Melayani adalah jalan menuju promosi ilahi!" Tiba-tiba saja keletihan & perasaan jengkel saya terangkat. Seandainya saja banyak orang Kristen memahami agenda Allah dibalik situasi tidak menyenangkan di mana kita merasa seperti "kacung," namun pada saat itulah Allah sedang mempersiapkan kita; kita tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Kesempatan-kesempatan besar seringkali bersembunyi di balik perkara-perkara kecil.
"Mengapa semuanya harus aku yang mengerjakannya?"
"Mengapa aku selalu disuruh-suruh sama orang ini?"
"Mengapa dia harus memintanya dengan cara (bicara) seenaknya seperti itu?"
"Tidakkah dia bisa bilang terima kasih atas semua yang sudah aku lakukan?"
"Apakah semua pengorbananku ini tidak artinya buat dia?"
Pernahkah anda merasakan perasaan-perasaan ini?
Harga diri kita seperti ditabrak dengan keras. Kadang kita berpikir, kalau terus dibiarkan nanti jadi seenaknya... atau kalau dibiarkan nanti seperti si ini, si anu, kasus keluarga ini, kasus perusahaan itu (& berbagai skenario lainnya).
Tidak dapat dipungkiri bahwa selalu saja ada orang-orang yang suka memanfaatkan kebaikan orang lain. Dari teman, keluarga, pemimpin, bahkan partner pelayanan.
Ada kalanya saya lelah dengan sikap orang-orang tertentu. Dalam keadaan kesal, hindari untuk membuat kesimpulan. Kesimpulan yang salah akan menghasilkan tanggapan yang salah. Kenali "waktu kebodohan" kita, yaitu saat di mana kita paling sulit untuk menguasai diri.
Kesimpulan yang saya buat di tengah-tengah kekesalan, membuat saya kehilangan kelemahlembutan & kerendahan hati. Sikap satu dua orang yang menganggu, membuat saya membangun benteng kepada banyak orang. Saya sering sekali menggunakan kata "insecure" (tidak aman). Sampai tiba-tiba saya menyadari bahwa kata tersebut telah menyerga saya dengan diam-diam.
Saya pernah membaca sebuah buku yang bercerita tentang kehidupan Herodes. Dibalik tahta & kekuasaanya, Herodes adalah seorang pria yang "insecure" (tidak akan) dengan dirinya & keberadaan orang lain disekelilingnya. Herodes yang berbakat berubah menjadi Herodes yang keji, yang tidak sayang membunuh siapa pun (termasuk para kerabatnya), yang keberadaannya mendatangkan rasa tidak aman (insecure) dalam diri Herodes.
Roh Herodes adalah roh pembunuh potensi. Spiritual abortion (aborsi rohani) menjadi strategi pemimpin yang tidak aman dengan keberadaan orang lain, untuk menyingkirkan setiap orang yang ada di jalan mereka, karena takut kehilangan apa yang ia miliki hari ini.
Roh apa yang sedang menunggangi kepemimpinan kita? Roh Anak Domba yang lemah lembut atau roh Herodes yang licik & berbahaya?
Kepemimpinan bukan hanya soal skill, tetapi juga soal roh. Roh apa yang adapada kepemimpinan kita? Jika Roh Kristus yang menjadi nafas pelayanan kita, maka IA akan memberikan kita identitas & rasa berharga yang berakar di dalam karya penebusanNya sehingga kita dapat mengalahkan perasaan-perasaan "insecure" pada saat kita melayani dengan sikap hati & motivasi yang benar.
Jangan biarkan perlakuan buruk orang lain membuat kita kehilangan sikap hati & motivasi yang benar dalam melayani Allah & jiwa-jiwa.
Senin, 03 September 2012
BUKAN KARENA MURAH, TAPI KARENA WAKTU TUHAN
Di awal pelayanan saya, saya mendapat pengertian yang sangat berharga mengenai "waktu Tuhan." Di dalam salah satu khotbahnya, Pdt. Gilbert Lumoindong berkata bahwa "waktu Tuhan adalah waktu kita siap." Perkataan tersebut melekat begitu kuat di hati saya, bahkan saya menjadikannya salah satu prinsip yang menuntun kehidupan saya.
Untuk memahami prinsip "waktu Tuhan adalah waktu kita siap," kita memerlukan hikmat untuk meng-interpretasikannya dengan baik. Dalam banyak kesempatan kitanbisa saja "merasa siap" untuk menerima atau dipercaya sesuatu. Seperti yang pernah saya dengar dari seorang Kristen yang berkata "Mengapa Allah belum memberkati saya dengan menjadikan kerja sama bisnis saya berhasil, padahal saya sudah siap untuk diberkati? Jika saya diberkati saat ini, saya pasti akan melakukan ini, melakukan ini, memberkati si ini & memberkati si itu."
Menjadi siap & merasa siap adalah dua hal yang berbeda. Kesiapan kita harus dinilai oleh Tuhan, bukan oleh diri sendiri. Kadang perasaan "over-confident" kta dalam sebuah situasi, memberikan "rasa aman yang palsu" dengan meyakinkan diri kita bahwa kita sudah siap.
Allah bukan Pribadi yang selalu terburu-buru. IA begitu berkuasa atas waktu, sehingga segala yang terjadi di dalam ruang & waktu sama sekali tidak dapat membatasi IA berkarya di dalam kehidupan kita. Dalam Yohanes 11 kita menjumpai kisah Lazarus yang dibangkitkan. Peristiwa kebangkitan Lazarus tidak lain dipicu oleh "keterlambatan" Yesus untuk hadir sebelum Lazarus akhirnya meninggal. Yesus "sengaja" menunda kedatanganNya untuk mengajarkan kita pelajaran berharga. Ada hal yang tidak dapat dilepaskan dengan "waktu Tuhan," yaitu "kuasa Tuhan."
Di awal tahun 2000-an, saya mendengar sebuah khotbah yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Raharjo dari GKPB Masa Depan Cerah - Surabaya. Beliau berkata bahwa ada banyak orang Kristen yang terkadang memaksakan diri membeli sesuatu karena harganya sedang murah atau diskon. Padahal saat itu, apa yang dibeli belumlah menjadi hal yang sangat mendesak. Sikap memaksakan diri ini seringkali membuat banyak orang Kristen kehilangan "waktu Tuhan" atas kehidupan mereka. Mereka terjebak pada sikap mengandalkan pengertian sendiri & tidak menanti-nantikan Tuhan. Bukankah kebanyakan kita juga seringkali bertindak sama. Seperti halnya bulan lalu saya memborong beberapa buku John C. Maxwell di toko buku Immanuel, karena di bulan tersebut koleksi buku-buku John C. Maxwell discount 20%. Kita pasti akan berpikir "kapan lagi... mumpung lagi diskon."
Pdt. Andreas Raharjo mengatakan agar kita tidak membeli sesuatu karena sesuatu tersebut lagi murah atau mumpung diskon. Jika harga sesuatu itu tidak terlalu mahal sehingga jika kita membelinya, cashflow kita tidak mengalami gangguan, hal ini masih sah-sah saja. Tapi hal yang penting untuk kita ingat ialah: belilah sesuatu karena kita butuh, bukan karena mumpung harganya masih murah. Sikap memaksakan diri yang membawa kita keluar dari waktu Allah tentulah bukanlah sebuah keputusan yang bijaksana. Seperti halnya Pengkhotbah 3:11 berkata "segala sesuatu indah pada waktunya..."
Jika memang kita butuh & kita berada pada waktunya Tuhan untuk membeli atau memiliki sesuatu, jika harga barang yang ingin kita beli menjadi sangat mahal sekalipun, Allah pasti akan memberkati kita sehingga kita mampu membeli atau memilikinya.
Untuk selalu hidup di dalam waktu Tuhan, kita harus memiliki "kesabaran." Kesabaran merupakan salah satu ekspresi iman. Mengapa kita bersedia menunggu? Karena kita mempercayai Allah!
Seperti halnya memasak atau membuat kue, kita tidak boleh terburu-buru sehingga mendapati masakan atau kur tersebut setengah matang & tidak bisa dinikmati. Sebuah masakan memiliki rasa yang maksimal jika dimasak dengan lama waktu tertentu. Bersabarlah terhadap waktu Tuhan. Dan jangan sekedar menjadi pasif dalam menantikan waktu Tuhan. Kerjakan hal-hal yang harus kita kerjakan, nantikan Allah dalam doa & penyembahan, berjalanlah di dalam ketaatan, & jadilah produktif di dalam masa-masa penantian kita.
Petualangan Kepemimpinan: Keluar Dari Kubangan Kekecewaan
Satu hal yang paling sulit dalam kepemimpinan ialah berurusan dengan orang (deal with people). Tapi itulah gunanya kepemimpinan. Kita harus belajar bagaimana berkomunikasi, membangun teamwork, menggerakkan orang lain, mendelegasikan tugas, bahkan mengangkat & memecat orang.
Meskipun kekecewaan pasti terjadi di dalam setiap kepemimpinan, namun para pemimpin tidak dipanggil untuk tinggal di dalamnya. Tinggal di dalam kekecewaan dapat menghancurkan kekuatan kita. Terlalu mahal harganya untuk menukar visi yang kita miliki dan tinggal di dalam kubangan kekecewaan dengan sikap mengasihani diri.
Pemimpin terkadang adalah orang yang paling sulit dipahami. Kita cenderung berpikir lebih jauh dari kebanyakan orang, melihat lenih luas dari penglihatan kebanyakan orang, membayar lebih mahal dibanding semua orang yang terlibat, menerima tuntunan lebih banyak dari yang sanggup kita pikul, & memiliki ikatan emosi terhadap visi jauh lebih dalam dari semua orang yang terlibat.
Proses menjadi seorang pemimpin bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Seandainya kepemimpinan hanyalah soal "posisi" maka kepemimpinan tidak akan serumit ini. Namun masalahnya, kepemimpinan adalah kombinasi antara panggilan, kemampuan/keterampilan, karakter & hubungan-hubungan yang kita miliki.
Salah satu judul buku Joyce Meyer yang paling saya ingat ialah: Pemimpin Yang Sedang Dibentuk. Judul ini merangkum tahun-tahun kehidupan saya sebagai seorang hamba Tuhan. "Sedang dibentuk"... sampai kapan? Apakah tandanya bahwa pembentukan tersebut telah selesai?
Berulang kali saya mengambil waktu untuk introspeksi diri. Jika ada sesuatu yang salah di dalam pelayanan atau orang-orang yang saya pimpin, maka sebagai pemimpin, saya harus terlebih dahulu mengevaluasi diri.
Berulang kali kebingungan menghempaskan saya ke dinding permasalahan. Saya berulang kali kelelahan dengan perjalanan kepemimpinan ini. Memiliki orang-orang dengan potensi luar biasa barulah satu hal. Tetapi memimpin mereka adalah persoalan lain. Kata "penundukkan diri" yang selama ini saya hindari, justru bisa menimbulkan masalah baru. Setiap orang yang "merasa memiliki pewahyuannya sendiri" kadang sulit diarahkan. Membawa seseorang mengalami pengalaman rohani yang dahsyat & memberikan kepercayaan lebih, justru dapat membuat orang-orang tertentu sulit untuk hidup dengan penundukan diri & keterbukaan. Kadang hal ini memberi ruang bagi roh kemunafikan untuk beroperasi di dalam diri orang-orang yang memiliki potensi & panggilan yang luar biasa.
Sebelum terlambat, saya ingin berulang kali menyadarkan diri saya, bahwa sebagai seorang pemimpin saya harus berjalan di dalam "the spirit of sonship." Roh keputraan (the spirit of sonship) ini dibutuhkan oleh banyak pemimpin rohani agar mereka tidak mengerjakan tugas & tanggungjawab mereka dengan spirit yang salah. Seseorang bisa saja menjabat kepemimpinan rohani, namun bertindak dengan spirit yang salah, yaitu roh Herodes & roh Firaun. Kedua roh ini menggambarkan bentuk rasa tidak aman (insecurity) di dalam kepemimpinan. Kepemimpinan diktator yang tangan besi merupakan ekspresi dari kedua roh ini. Berbeda sekali jika kita melayani dengan roh Anak Domba yang rela berkorban & melayani orang-orang yang kita pimpin.
Saya masih ingat, ketika pertama kali saya ditahbiskan sebagai hamba Tuhan, Roh Kudus memberikan sebuah pesan melalui Yoh 10:11 yang berbunyi "gembala yang baik menyerahkan nyawanya bagi domba-dombaNya..." Saya ingin terus berjalan di dalam spirit ini. Inilah sebuah pewahyuan kepemimpinan yang pertama kali saya terima. Saya tidak ingin membandingkan kepemimpinan saya dengan orang lain. Karena sikap membanding-bandingkan selalu lahir dari "insecurity." Saya hanya ingin hidup sebagai mana saya dipanggil & menaati apa yang diperintahkan Allah untuk saya lakukan. Kiranya Allah terus membentuk saya sesuai dengan "gambar & rupaNya" (healthy self-image), sehingga saya dapat berfungsi dalam tanggungjawab kepemimpinan (berkuasa) yang Allah percayakan kepada saya (Kej 1:26-18).
From Realistic To Idealist
Pengalaman kehilangan visi sangat tidak menyenangkan. Kehilangan visi akan menyebabkan kita kehilangan gairah (passion).
Seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, ada banyak orang yang menasehati saya untuk "be realistic!" Sepertinya udah bukan umurnya lagi untuk hidup idealis. Nggak kalah, pihak keluarga biasanya menjadi orang no.1 untuk mendorong kita menjadi lebih realistis dalam hidup.
Bahasa lain dari "realistis" adalah "main aman." Tiba-tiba saja saya mulai muak dengan nasihat-nasihat yang mendorong saya untuk bermain aman di dalam kehidupan.
Saya masih ingat salah satu khotbah Ps. Brian Houston ketika ia datang ke JPCC tahun 2011. Ps. Brian Houston berbicara bagaimana kitanharus berani mengambil resiko dalam hidup. Tanpa resiko tidak akan ada kebesaran. Kita ditantang untuk membayar harga untuk melihat visi Allah itu tergenapi di dalam hidup kita.
Saat kita bingung karena kehilangan visi, ada baiknya kita kembali ke dasar. Saya kembali membuka buku-buku catatan saya di masa lalu, membuka buku-buku yang pernah menginspirasi saya di awal-awal pelayanan saya, duduk dengan beberapa orang muda yang belum menjadi realistis, kembali kepada pesan Tuhan yang pernah saya terima di tahun-tahun penting dalam perjalanan rohani saya.
Waktu tidak akan menunggu kita. Ia akan terus berjalan, entah kitabsiap atau tidak siap. 5 - 10 tahun dari sekarang, apakah kita akan menjadi lebih baik. Di manakah kita akan berada.
Masihkah pesan-pesan mengenai hukum potensi yang pernah saya baca dari buku Dr. Myles Munroe dapat dihidupkan kembali? Apakah pewahyuan tentang "tujuan hidup" dari buku The Purpose Driven Life yang ditulis oleh Rick Warren merupakan sesuatu yang basi? Apakah pewahyuan-pewahyuan dari buku John Mason untuk hidup sebagai orginal dan keluar dari mentalitas mediokritas masih dapat mendobrak keragu-raguan di hati?
John C. Maxwell berhasil menemukan kemaksimalan hidupnya, justru di usia tuanya. Ia menjadi semakin produktif ketika ia memutuskan untuk meninggalkan penggembalaan & terjun sebagai guru kepemimpinan bagi banyak orang di dunia.
Kita masih terlalu mudah untuk menyerah. Menyerah dengan mimpi-mimpi yang kadang mengintimidasi diri kita sendiri. Karena kita mendapati bahwa mimpi-mimpi itu jauh lebih besar daripada kemampuan kita. Itu sebabnya kita harus bergantung sepenuhnya pada Allah. Ialah meletakkan visi di hati kita. Sehinggankitantahuuntuk apa Ia menciptakan kita. Ia jugalah yang akan memampukan kita untuk menghidupi visi tersebut, bukan dengan kekuatan daging, melainkan dengan hidup menurut Roh.
Jika kita benar-benar menginginkannya, maka kita akan menemukannya. Tahun 2004, saya memahami visi Allah seperti halnya perumpamaan Harta Terpendam & Mutiara Berharga (Matius 13:43-45). Kita harus mencarinya, & ketika menemukannya kita harus bersedia membayar harganya dengan "menjual segala milik kita."
Apakah anda sepakat dengan saya untuk tidak berhenti di sini? Kembali melanjutkan petualangan rohani ini. Di mulai dengan mencari apa yang menjadi visi Allah bagi hidup kita, & bersiap untuk menjual seluruh milik kita untuk terjadinya sebuah pertukaran. Ini bukan harga yang impas. Meskipun kita membayarnya dengan seluruh milik kita, kita tidak akan pernah mengalami kerugian. Biarkan Sorga membuktikan apa yang telah ditulisNya.
Rabu, 12 September 2012
The Pareto Principle (20/80): Kemampuan Menilai & Memilih Orang-Orang
Diposting oleh
Ferry Felani
17.51
Saya sudah mengenal prinsip 20/80 (the pareto principle) sejak kuliah. Dalam banyak bukunya, John C. Maxwell sering membahas tentang prinsip 20/80 ini ketika menerangkan mengenai prioritas. Saya tidak menyadari bahwa berulang kali saaya telah melanggar prinsip ini.
Untuk mendapatkan hasil 80% kita hanya perlu memfokuskan diri pada 20% hal yang paling penting. Di dalam kepemimpinan, kita harus meletakkan fokus kita pada 20% orang untuk kita kembangkan agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Terlalu sering, fokus saya terlalu melebar.Saya berusaha menolong semua orang. Bahkan menghabiskan waktu & energi saya untuk membangun orang-orang yang tidak mau berubah. Sedangkan mereka yang hmau berubah justru terbengkalai.
Memasuki masa-masa yang "crucial" di dalam kepemimpinan, membuat saya lebih "aware" terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan yang saya telah pelajari selama ini. Baru semalam saya selesai membaca buku Learship 101 yang ditulis oleh John C. Maxwell kira-kira 10 tahun yang lalu. Apa yang sedang saya alami di dalam kepemimpinan saya hari-hari ini membuat saya semakin mengerti pentingnya prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut. Selama ini saya secara tidak sengaja mengabaikannya, karena tidak melihat pentingnya prinsip-prinsip tersebut sampai akhirnya ketika permasalahan-permasalahan mulai timbul, barulah prinsip-prinsip itu terlihat penting.
Kadang kita "berpikir terlalu positif" akan apa yang sedang kita lakukan hari-hari ini. Rasa bangga (proud) terhadap hasil-hasil yang terlihat dari kepemimpinan kita dapat membuat kita terlena, berpuas diri & menjadi kurang waspada. Itu sebabnya salah satu hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh setiap pemimpin untuk mengalami kemajuan, ialah EVALUASI. Melakukan evaluasi secara berkala akan membantu kita mtuk mengembangkan diri & mengatasi kekurangan kita. Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang maksimal, dibutuhkan mata yang obyektif. Kita harus melihat diri kita sebagaimana adanya.mKita haus berani berhadapan dengan realita, fakta & kebenaran.
Mengevaluasi orang-orang yang berada satu tim dengan kita juga sangat penting untuk mengatasi kekurangan & mengembangkan kemampuan tim. Terlalu sering saya menyangkal kelemahan anggota tim & "terlalu mudah percaya" akan seseorang. Pada prinsipmya bersikap positif & mempercayai anggota tim kita tentu merupakan hal yang sangat baik. Namun bersikap positif bukanlah menyangkali keadaan. Sikap positif yang salah ialah sikap positif yang disertai sikap menyangkal kelemahan, fakta & kebenaran.
Pemahaman akan prinsip-prinsip kepemimpinan membuat saya memandang setiap tim dengan perspektif yang berbeda. Saya bukan hanya perlu tahu kelebihan mereka, tetapi juga kelemahan mereka.
Ketika saya membuat list mengenai orang-orang yang ada di dalam kepemimpinan saya & menilai mereka berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang saya pahami, saya mendapati 20% orang yang harus saya prioritaskan ialah orang-orang yang berbeda dengan penilaian atau dugaan saya sebelumnya.
Sejak tahun yang lalu, saya mulai memahami bahwa para pemimpin yang sukses bukan hanya bisa bekerja sama dengan orang lain, mereka juga mampu menilai orang lain dengan tepat serta memilih anggota tim mereka dengan benar.
Kadang saya merasa miliki kemampuan ini. Namun ternyata saya salah. Cara saya menilai & memilih orang dalam kepemimpinan perlu diperbaiki.
Saya memiliki kebiasaan yang harus diubah. Kebiasaan ini sangat menyangkut dengan masalah prioritas. Saya sangat suka menyimpan yang terbaik untuk dinikmati terakhir. Ketika makan di sebuah restaurant, bagian terbaik biasanya akan saya nikmati belakangan. Saya akan menikmati makanan di mulai dari yang biasa hingga ke yang paling nikmat. Masalahnya, ketika saya menikmati bagian terbaik tersebut, saya sudah agak kenyang. Alangkah lebih baik jika saya menikmati bagian terbaik di awal, ketika perut saya masih sangat lapar. Tentu makanan tersebut akan sangat lezat di mulut saya.
Belum lama ini saya membeli 30 buku ketika melayani di Sydney, Australia. Ketika memutuskan mulai untuk membaca buku-buku tersebut, saya selalu menyimpan buku-buku terbaik untuk dibaca "nanti." Padahal hal-hal terbaik harusnya kita nikmati lebih dulu, buku-buku terbaik kita baca lebih dulu, & orang-orang terbaik kita prioritaskan untuk dibangun lebih dulu sehingga kita bisa memperkuat "influence" untuk membangun orang-orang yang dalam kepemimpinan kita.
Meskipun buku-buku tentang kepemimpinan semakin banyak, ternyata menjadi seorang pemimpin tetap tidak mudah. Menjadi pemimpin bukan tentang apa yang kita ketahui, melainkan tentang apa yang kita lakukan. Setiap pemimpin dinilai dari tindakan, keputusan & pilihan yang ia buat. Pengetahuan bukanlah kekuatan sampai pengetahuan itu kepemimpinan.
Perasaan "sudah tahu" kadang lahir dari kesombongan hati yang dapat menghambat "pertumbuhan" pribadi kita. Agarvmenjadi pemimpin yang terus bertumbuh & meningkatkan pemgaruh yang kita miliki, kita harus belajar menjadi NOL sehingga kita selalu bisa diajar & belajar banyak hal.
Rabu, 05 September 2012
Kehilangan Pengurapan
Diposting oleh
Ferry Felani
20.23
"Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, & yang terakhir akan menjadi yang terdahulu." (Matius 19:30)
Saul mencoba menjalankan tugasnya sebagai raja, tanpa pemgurapan seorang raja.
Kehilangan pengurapan bukan sekedar kehilangan kuasa Tuhan, melainkan kehilangan kepercayaan dari Tuhan.
Melihat kehidupan rohani yang sembrono dari beberapa orang Kristen & hamba Tuhan, sepertinya hari-hari ini banyak orang tidak takut kehilangan pengurapan. Jika kita tidak mengetahui tujuan pengurapan, kita tidak akan merasa membutuhkannya. Bahkan ketika kita kehilangan pengurapan tersebut, kita masih beranggapan bahwa hal itu bukan masalah besar.
Hey, kehilangan pengurapan merupakan sebuah masalah serius! Kehilangan pengurapan berarti kehilangan keperayaan dari Allah. Dibutuhkan integritas untuk mengaktifkan & melipatgandakan pengurapan di dalam roh kita.
Mereka yang berjalan di dalam pengurapan akan menyaksikan hasil-hasil yang berbeda dari mereka yang tidak berjalan di dalam pemgurapan.
MELAYANI DENGAN ROH KEPEMIMPINAN YANG BENAR: Mengalahkan Rasa Tidak Aman & Sikap Hati Yang Salah Dalam Diri Kita
Diposting oleh
Ferry Felani
07.48
"Melayani" sudah menjadi kata yang rancu di dalam kekristenan. Berbagai tujuan & agenda pribadi yang memberi warna lain dari warna yang diberikan Yesus, mendatangkan banyak kesalahpahaman & kebingungan di dalam Tubuh Kristus (baca: gereja).
Yang harus kita minta agar Tuhan mengirimkan kepada kita ialah "pekerja," bukan artis, CEO, bisnisman, maupun musisi handal. Mintalah pekerja!
Hari-hari ini kata "melayani" sering digunakan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan pengaruh, kendali, popularitas maupun uang. Kata ini telah diselewengkan begitu rupa sehingga banyak orang mulai bersikap curiga kepada pelayanan-pelayanan sejati.
Melayani adalah cara Allah mengikis daging kita. Pelayanan yang sejati bukan memberikan kenyamanan kepada daging. Melalui pelayanan kita dipanggil untuk mendahulukan orang lain. Ini tentu sangat bertentangan dengasifat dasarvmanusia yang memiliki kecenderungan untuk bersikap egois.
Suatu hari saya begitu kelelahan dengan berbagai aktifitas & kesibukan yang ada. Bahkan hal-hal kecil pun begitu menyibukan & menguras energi saya. Dalam keadaan letih, saya masih harus berhadapan dengan sikap orang lain yang cukup "bossy" (sok main suruh & perintah). Saat kejengkelan mulai menyelinap masuk, Roh Kudus pun tidak kalah cepat untuk memanfaatkan peluang untuk memuridkan seorang murid yang sedang tidak siap belajar.
Di tengah kelelahan saya, Roh Kudus berbisik: "Kamu melayani karena kamu pemimpin! Melayani adalah cara Alkitabiah untuk menjadi besar!" Melayani adalah jalan menuju promosi ilahi!" Tiba-tiba saja keletihan & perasaan jengkel saya terangkat. Seandainya saja banyak orang Kristen memahami agenda Allah dibalik situasi tidak menyenangkan di mana kita merasa seperti "kacung," namun pada saat itulah Allah sedang mempersiapkan kita; kita tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Kesempatan-kesempatan besar seringkali bersembunyi di balik perkara-perkara kecil.
"Mengapa semuanya harus aku yang mengerjakannya?"
"Mengapa aku selalu disuruh-suruh sama orang ini?"
"Mengapa dia harus memintanya dengan cara (bicara) seenaknya seperti itu?"
"Tidakkah dia bisa bilang terima kasih atas semua yang sudah aku lakukan?"
"Apakah semua pengorbananku ini tidak artinya buat dia?"
Pernahkah anda merasakan perasaan-perasaan ini?
Harga diri kita seperti ditabrak dengan keras. Kadang kita berpikir, kalau terus dibiarkan nanti jadi seenaknya... atau kalau dibiarkan nanti seperti si ini, si anu, kasus keluarga ini, kasus perusahaan itu (& berbagai skenario lainnya).
Tidak dapat dipungkiri bahwa selalu saja ada orang-orang yang suka memanfaatkan kebaikan orang lain. Dari teman, keluarga, pemimpin, bahkan partner pelayanan.
Ada kalanya saya lelah dengan sikap orang-orang tertentu. Dalam keadaan kesal, hindari untuk membuat kesimpulan. Kesimpulan yang salah akan menghasilkan tanggapan yang salah. Kenali "waktu kebodohan" kita, yaitu saat di mana kita paling sulit untuk menguasai diri.
Kesimpulan yang saya buat di tengah-tengah kekesalan, membuat saya kehilangan kelemahlembutan & kerendahan hati. Sikap satu dua orang yang menganggu, membuat saya membangun benteng kepada banyak orang. Saya sering sekali menggunakan kata "insecure" (tidak aman). Sampai tiba-tiba saya menyadari bahwa kata tersebut telah menyerga saya dengan diam-diam.
Saya pernah membaca sebuah buku yang bercerita tentang kehidupan Herodes. Dibalik tahta & kekuasaanya, Herodes adalah seorang pria yang "insecure" (tidak akan) dengan dirinya & keberadaan orang lain disekelilingnya. Herodes yang berbakat berubah menjadi Herodes yang keji, yang tidak sayang membunuh siapa pun (termasuk para kerabatnya), yang keberadaannya mendatangkan rasa tidak aman (insecure) dalam diri Herodes.
Roh Herodes adalah roh pembunuh potensi. Spiritual abortion (aborsi rohani) menjadi strategi pemimpin yang tidak aman dengan keberadaan orang lain, untuk menyingkirkan setiap orang yang ada di jalan mereka, karena takut kehilangan apa yang ia miliki hari ini.
Roh apa yang sedang menunggangi kepemimpinan kita? Roh Anak Domba yang lemah lembut atau roh Herodes yang licik & berbahaya?
Kepemimpinan bukan hanya soal skill, tetapi juga soal roh. Roh apa yang adapada kepemimpinan kita? Jika Roh Kristus yang menjadi nafas pelayanan kita, maka IA akan memberikan kita identitas & rasa berharga yang berakar di dalam karya penebusanNya sehingga kita dapat mengalahkan perasaan-perasaan "insecure" pada saat kita melayani dengan sikap hati & motivasi yang benar.
Jangan biarkan perlakuan buruk orang lain membuat kita kehilangan sikap hati & motivasi yang benar dalam melayani Allah & jiwa-jiwa.
Senin, 03 September 2012
BUKAN KARENA MURAH, TAPI KARENA WAKTU TUHAN
Diposting oleh
Ferry Felani
23.22
Salah satu kunci untuk mendapatkan yang terbaik dari Tuhan ialah: kesabaran. Memahami waktu Allah atas kehidupan kita memang tidak mudah. Perhitungan waktu Allah tidak bekerja sesuai dengan hitungan waktu kita. Kita menghitung waktu dengan hitungan detik, menit, & jam; sedangkan Allah menghitungnya dengan ketaatan, motivasi yang benar, penyerahan diri, kerendahan hati, kerelaan hati & persiapan.
Di awal pelayanan saya, saya mendapat pengertian yang sangat berharga mengenai "waktu Tuhan." Di dalam salah satu khotbahnya, Pdt. Gilbert Lumoindong berkata bahwa "waktu Tuhan adalah waktu kita siap." Perkataan tersebut melekat begitu kuat di hati saya, bahkan saya menjadikannya salah satu prinsip yang menuntun kehidupan saya.
Untuk memahami prinsip "waktu Tuhan adalah waktu kita siap," kita memerlukan hikmat untuk meng-interpretasikannya dengan baik. Dalam banyak kesempatan kitanbisa saja "merasa siap" untuk menerima atau dipercaya sesuatu. Seperti yang pernah saya dengar dari seorang Kristen yang berkata "Mengapa Allah belum memberkati saya dengan menjadikan kerja sama bisnis saya berhasil, padahal saya sudah siap untuk diberkati? Jika saya diberkati saat ini, saya pasti akan melakukan ini, melakukan ini, memberkati si ini & memberkati si itu."
Menjadi siap & merasa siap adalah dua hal yang berbeda. Kesiapan kita harus dinilai oleh Tuhan, bukan oleh diri sendiri. Kadang perasaan "over-confident" kta dalam sebuah situasi, memberikan "rasa aman yang palsu" dengan meyakinkan diri kita bahwa kita sudah siap.
Allah bukan Pribadi yang selalu terburu-buru. IA begitu berkuasa atas waktu, sehingga segala yang terjadi di dalam ruang & waktu sama sekali tidak dapat membatasi IA berkarya di dalam kehidupan kita. Dalam Yohanes 11 kita menjumpai kisah Lazarus yang dibangkitkan. Peristiwa kebangkitan Lazarus tidak lain dipicu oleh "keterlambatan" Yesus untuk hadir sebelum Lazarus akhirnya meninggal. Yesus "sengaja" menunda kedatanganNya untuk mengajarkan kita pelajaran berharga. Ada hal yang tidak dapat dilepaskan dengan "waktu Tuhan," yaitu "kuasa Tuhan."
Di awal tahun 2000-an, saya mendengar sebuah khotbah yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Raharjo dari GKPB Masa Depan Cerah - Surabaya. Beliau berkata bahwa ada banyak orang Kristen yang terkadang memaksakan diri membeli sesuatu karena harganya sedang murah atau diskon. Padahal saat itu, apa yang dibeli belumlah menjadi hal yang sangat mendesak. Sikap memaksakan diri ini seringkali membuat banyak orang Kristen kehilangan "waktu Tuhan" atas kehidupan mereka. Mereka terjebak pada sikap mengandalkan pengertian sendiri & tidak menanti-nantikan Tuhan. Bukankah kebanyakan kita juga seringkali bertindak sama. Seperti halnya bulan lalu saya memborong beberapa buku John C. Maxwell di toko buku Immanuel, karena di bulan tersebut koleksi buku-buku John C. Maxwell discount 20%. Kita pasti akan berpikir "kapan lagi... mumpung lagi diskon."
Pdt. Andreas Raharjo mengatakan agar kita tidak membeli sesuatu karena sesuatu tersebut lagi murah atau mumpung diskon. Jika harga sesuatu itu tidak terlalu mahal sehingga jika kita membelinya, cashflow kita tidak mengalami gangguan, hal ini masih sah-sah saja. Tapi hal yang penting untuk kita ingat ialah: belilah sesuatu karena kita butuh, bukan karena mumpung harganya masih murah. Sikap memaksakan diri yang membawa kita keluar dari waktu Allah tentulah bukanlah sebuah keputusan yang bijaksana. Seperti halnya Pengkhotbah 3:11 berkata "segala sesuatu indah pada waktunya..."
Jika memang kita butuh & kita berada pada waktunya Tuhan untuk membeli atau memiliki sesuatu, jika harga barang yang ingin kita beli menjadi sangat mahal sekalipun, Allah pasti akan memberkati kita sehingga kita mampu membeli atau memilikinya.
Untuk selalu hidup di dalam waktu Tuhan, kita harus memiliki "kesabaran." Kesabaran merupakan salah satu ekspresi iman. Mengapa kita bersedia menunggu? Karena kita mempercayai Allah!
Seperti halnya memasak atau membuat kue, kita tidak boleh terburu-buru sehingga mendapati masakan atau kur tersebut setengah matang & tidak bisa dinikmati. Sebuah masakan memiliki rasa yang maksimal jika dimasak dengan lama waktu tertentu. Bersabarlah terhadap waktu Tuhan. Dan jangan sekedar menjadi pasif dalam menantikan waktu Tuhan. Kerjakan hal-hal yang harus kita kerjakan, nantikan Allah dalam doa & penyembahan, berjalanlah di dalam ketaatan, & jadilah produktif di dalam masa-masa penantian kita.
Petualangan Kepemimpinan: Keluar Dari Kubangan Kekecewaan
Diposting oleh
Ferry Felani
09.23
Jika suatu hari saya berkesempatan menulis buku tentang Leadership, saya ingin sekali membagikan sebuah pesan kepemimpinan yang menurut saya sangat penting. Bahwa menjadi pemimpin kita harus berhadapan dengan kekecewaan. Tidak ada pemimpin yang baik yang tidak pernah kecewa. Pemimpin menjadi kecewa karena ia memiliki pengharapan (ekspektasi). Ia mengharapkan kemajuan organisasi, pertumbuhan orang-orang yang ada di dalamnya, dan banyak hal lainnya.
Satu hal yang paling sulit dalam kepemimpinan ialah berurusan dengan orang (deal with people). Tapi itulah gunanya kepemimpinan. Kita harus belajar bagaimana berkomunikasi, membangun teamwork, menggerakkan orang lain, mendelegasikan tugas, bahkan mengangkat & memecat orang.
Meskipun kekecewaan pasti terjadi di dalam setiap kepemimpinan, namun para pemimpin tidak dipanggil untuk tinggal di dalamnya. Tinggal di dalam kekecewaan dapat menghancurkan kekuatan kita. Terlalu mahal harganya untuk menukar visi yang kita miliki dan tinggal di dalam kubangan kekecewaan dengan sikap mengasihani diri.
Pemimpin terkadang adalah orang yang paling sulit dipahami. Kita cenderung berpikir lebih jauh dari kebanyakan orang, melihat lenih luas dari penglihatan kebanyakan orang, membayar lebih mahal dibanding semua orang yang terlibat, menerima tuntunan lebih banyak dari yang sanggup kita pikul, & memiliki ikatan emosi terhadap visi jauh lebih dalam dari semua orang yang terlibat.
Proses menjadi seorang pemimpin bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Seandainya kepemimpinan hanyalah soal "posisi" maka kepemimpinan tidak akan serumit ini. Namun masalahnya, kepemimpinan adalah kombinasi antara panggilan, kemampuan/keterampilan, karakter & hubungan-hubungan yang kita miliki.
Salah satu judul buku Joyce Meyer yang paling saya ingat ialah: Pemimpin Yang Sedang Dibentuk. Judul ini merangkum tahun-tahun kehidupan saya sebagai seorang hamba Tuhan. "Sedang dibentuk"... sampai kapan? Apakah tandanya bahwa pembentukan tersebut telah selesai?
Berulang kali saya mengambil waktu untuk introspeksi diri. Jika ada sesuatu yang salah di dalam pelayanan atau orang-orang yang saya pimpin, maka sebagai pemimpin, saya harus terlebih dahulu mengevaluasi diri.
Berulang kali kebingungan menghempaskan saya ke dinding permasalahan. Saya berulang kali kelelahan dengan perjalanan kepemimpinan ini. Memiliki orang-orang dengan potensi luar biasa barulah satu hal. Tetapi memimpin mereka adalah persoalan lain. Kata "penundukkan diri" yang selama ini saya hindari, justru bisa menimbulkan masalah baru. Setiap orang yang "merasa memiliki pewahyuannya sendiri" kadang sulit diarahkan. Membawa seseorang mengalami pengalaman rohani yang dahsyat & memberikan kepercayaan lebih, justru dapat membuat orang-orang tertentu sulit untuk hidup dengan penundukan diri & keterbukaan. Kadang hal ini memberi ruang bagi roh kemunafikan untuk beroperasi di dalam diri orang-orang yang memiliki potensi & panggilan yang luar biasa.
Sebelum terlambat, saya ingin berulang kali menyadarkan diri saya, bahwa sebagai seorang pemimpin saya harus berjalan di dalam "the spirit of sonship." Roh keputraan (the spirit of sonship) ini dibutuhkan oleh banyak pemimpin rohani agar mereka tidak mengerjakan tugas & tanggungjawab mereka dengan spirit yang salah. Seseorang bisa saja menjabat kepemimpinan rohani, namun bertindak dengan spirit yang salah, yaitu roh Herodes & roh Firaun. Kedua roh ini menggambarkan bentuk rasa tidak aman (insecurity) di dalam kepemimpinan. Kepemimpinan diktator yang tangan besi merupakan ekspresi dari kedua roh ini. Berbeda sekali jika kita melayani dengan roh Anak Domba yang rela berkorban & melayani orang-orang yang kita pimpin.
Saya masih ingat, ketika pertama kali saya ditahbiskan sebagai hamba Tuhan, Roh Kudus memberikan sebuah pesan melalui Yoh 10:11 yang berbunyi "gembala yang baik menyerahkan nyawanya bagi domba-dombaNya..." Saya ingin terus berjalan di dalam spirit ini. Inilah sebuah pewahyuan kepemimpinan yang pertama kali saya terima. Saya tidak ingin membandingkan kepemimpinan saya dengan orang lain. Karena sikap membanding-bandingkan selalu lahir dari "insecurity." Saya hanya ingin hidup sebagai mana saya dipanggil & menaati apa yang diperintahkan Allah untuk saya lakukan. Kiranya Allah terus membentuk saya sesuai dengan "gambar & rupaNya" (healthy self-image), sehingga saya dapat berfungsi dalam tanggungjawab kepemimpinan (berkuasa) yang Allah percayakan kepada saya (Kej 1:26-18).
From Realistic To Idealist
Diposting oleh
Ferry Felani
09.02
Pernahkah anda mengalami kehilangan visi? Tiba-tiba anda seperti kehilangan arah dan tidak ada sesuatu yang ingin dituju. Kehilangan visi merupakan sebuah keadaan yang berbahaya. Saat sessorang tidak memiliki visi, maka ia akan mudah tergoda dengan berbagai tawaran yang datang. Beberapa hari lalu saya mendengarkan CD khotbah Ps. Jeffrey Rachmat saat ia berbicara di dalam acara Relevant Leadership 2006. Beliau mengatakan bahwa orang yang nganggur (nggak punya kerjaan) yang mau diajak ke mana aja (apalagi jika tujuannya nggak jelas).
Pengalaman kehilangan visi sangat tidak menyenangkan. Kehilangan visi akan menyebabkan kita kehilangan gairah (passion).
Seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, ada banyak orang yang menasehati saya untuk "be realistic!" Sepertinya udah bukan umurnya lagi untuk hidup idealis. Nggak kalah, pihak keluarga biasanya menjadi orang no.1 untuk mendorong kita menjadi lebih realistis dalam hidup.
Bahasa lain dari "realistis" adalah "main aman." Tiba-tiba saja saya mulai muak dengan nasihat-nasihat yang mendorong saya untuk bermain aman di dalam kehidupan.
Saya masih ingat salah satu khotbah Ps. Brian Houston ketika ia datang ke JPCC tahun 2011. Ps. Brian Houston berbicara bagaimana kitanharus berani mengambil resiko dalam hidup. Tanpa resiko tidak akan ada kebesaran. Kita ditantang untuk membayar harga untuk melihat visi Allah itu tergenapi di dalam hidup kita.
Saat kita bingung karena kehilangan visi, ada baiknya kita kembali ke dasar. Saya kembali membuka buku-buku catatan saya di masa lalu, membuka buku-buku yang pernah menginspirasi saya di awal-awal pelayanan saya, duduk dengan beberapa orang muda yang belum menjadi realistis, kembali kepada pesan Tuhan yang pernah saya terima di tahun-tahun penting dalam perjalanan rohani saya.
Waktu tidak akan menunggu kita. Ia akan terus berjalan, entah kitabsiap atau tidak siap. 5 - 10 tahun dari sekarang, apakah kita akan menjadi lebih baik. Di manakah kita akan berada.
Masihkah pesan-pesan mengenai hukum potensi yang pernah saya baca dari buku Dr. Myles Munroe dapat dihidupkan kembali? Apakah pewahyuan tentang "tujuan hidup" dari buku The Purpose Driven Life yang ditulis oleh Rick Warren merupakan sesuatu yang basi? Apakah pewahyuan-pewahyuan dari buku John Mason untuk hidup sebagai orginal dan keluar dari mentalitas mediokritas masih dapat mendobrak keragu-raguan di hati?
John C. Maxwell berhasil menemukan kemaksimalan hidupnya, justru di usia tuanya. Ia menjadi semakin produktif ketika ia memutuskan untuk meninggalkan penggembalaan & terjun sebagai guru kepemimpinan bagi banyak orang di dunia.
Kita masih terlalu mudah untuk menyerah. Menyerah dengan mimpi-mimpi yang kadang mengintimidasi diri kita sendiri. Karena kita mendapati bahwa mimpi-mimpi itu jauh lebih besar daripada kemampuan kita. Itu sebabnya kita harus bergantung sepenuhnya pada Allah. Ialah meletakkan visi di hati kita. Sehinggankitantahuuntuk apa Ia menciptakan kita. Ia jugalah yang akan memampukan kita untuk menghidupi visi tersebut, bukan dengan kekuatan daging, melainkan dengan hidup menurut Roh.
Jika kita benar-benar menginginkannya, maka kita akan menemukannya. Tahun 2004, saya memahami visi Allah seperti halnya perumpamaan Harta Terpendam & Mutiara Berharga (Matius 13:43-45). Kita harus mencarinya, & ketika menemukannya kita harus bersedia membayar harganya dengan "menjual segala milik kita."
Apakah anda sepakat dengan saya untuk tidak berhenti di sini? Kembali melanjutkan petualangan rohani ini. Di mulai dengan mencari apa yang menjadi visi Allah bagi hidup kita, & bersiap untuk menjual seluruh milik kita untuk terjadinya sebuah pertukaran. Ini bukan harga yang impas. Meskipun kita membayarnya dengan seluruh milik kita, kita tidak akan pernah mengalami kerugian. Biarkan Sorga membuktikan apa yang telah ditulisNya.