Jika suatu hari saya berkesempatan menulis buku tentang Leadership, saya ingin sekali membagikan sebuah pesan kepemimpinan yang menurut saya sangat penting. Bahwa menjadi pemimpin kita harus berhadapan dengan kekecewaan. Tidak ada pemimpin yang baik yang tidak pernah kecewa. Pemimpin menjadi kecewa karena ia memiliki pengharapan (ekspektasi). Ia mengharapkan kemajuan organisasi, pertumbuhan orang-orang yang ada di dalamnya, dan banyak hal lainnya.

Satu hal yang paling sulit dalam kepemimpinan ialah berurusan dengan orang (deal with people). Tapi itulah gunanya kepemimpinan. Kita harus belajar bagaimana berkomunikasi, membangun teamwork, menggerakkan orang lain, mendelegasikan tugas, bahkan mengangkat & memecat orang.

Meskipun kekecewaan pasti terjadi di dalam setiap kepemimpinan, namun para pemimpin tidak dipanggil untuk tinggal di dalamnya. Tinggal di dalam kekecewaan dapat menghancurkan kekuatan kita. Terlalu mahal harganya untuk menukar visi yang kita miliki dan tinggal di dalam kubangan kekecewaan dengan sikap mengasihani diri.

Pemimpin terkadang adalah orang yang paling sulit dipahami. Kita cenderung berpikir lebih jauh dari kebanyakan orang, melihat lenih luas dari penglihatan kebanyakan orang, membayar lebih mahal dibanding semua orang yang terlibat, menerima tuntunan lebih banyak dari yang sanggup kita pikul, & memiliki ikatan emosi terhadap visi jauh lebih dalam dari semua orang yang terlibat.

Proses menjadi seorang pemimpin bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Seandainya kepemimpinan hanyalah soal "posisi" maka kepemimpinan tidak akan serumit ini. Namun masalahnya, kepemimpinan adalah kombinasi antara panggilan, kemampuan/keterampilan, karakter & hubungan-hubungan yang kita miliki.

Salah satu judul buku Joyce Meyer yang paling saya ingat ialah: Pemimpin Yang Sedang Dibentuk. Judul ini merangkum tahun-tahun kehidupan saya sebagai seorang hamba Tuhan. "Sedang dibentuk"... sampai kapan? Apakah tandanya bahwa pembentukan tersebut telah selesai?

Berulang kali saya mengambil waktu untuk introspeksi diri. Jika ada sesuatu yang salah di dalam pelayanan atau orang-orang yang saya pimpin, maka sebagai pemimpin, saya harus terlebih dahulu mengevaluasi diri.

Berulang kali kebingungan menghempaskan saya ke dinding permasalahan. Saya berulang kali kelelahan dengan perjalanan kepemimpinan ini. Memiliki orang-orang dengan potensi luar biasa barulah satu hal. Tetapi memimpin mereka adalah persoalan lain. Kata "penundukkan diri" yang selama ini saya hindari, justru bisa menimbulkan masalah baru. Setiap orang yang "merasa memiliki pewahyuannya sendiri" kadang sulit diarahkan. Membawa seseorang mengalami pengalaman rohani yang dahsyat & memberikan kepercayaan lebih, justru dapat membuat orang-orang tertentu sulit untuk hidup dengan penundukan diri & keterbukaan. Kadang hal ini memberi ruang bagi roh kemunafikan untuk beroperasi di dalam diri orang-orang yang memiliki potensi & panggilan yang luar biasa.

Sebelum terlambat, saya ingin berulang kali menyadarkan diri saya, bahwa sebagai seorang pemimpin saya harus berjalan di dalam "the spirit of sonship." Roh keputraan (the spirit of sonship) ini dibutuhkan oleh banyak pemimpin rohani agar mereka tidak mengerjakan tugas & tanggungjawab mereka dengan spirit yang salah. Seseorang bisa saja menjabat kepemimpinan rohani, namun bertindak dengan spirit yang salah, yaitu roh Herodes & roh Firaun. Kedua roh ini menggambarkan bentuk rasa tidak aman (insecurity) di dalam kepemimpinan. Kepemimpinan diktator yang tangan besi merupakan ekspresi dari kedua roh ini. Berbeda sekali jika kita melayani dengan roh Anak Domba yang rela berkorban & melayani orang-orang yang kita pimpin.

Saya masih ingat, ketika pertama kali saya ditahbiskan sebagai hamba Tuhan, Roh Kudus memberikan sebuah pesan melalui Yoh 10:11 yang berbunyi "gembala yang baik menyerahkan nyawanya bagi domba-dombaNya..." Saya ingin terus berjalan di dalam spirit ini. Inilah sebuah pewahyuan kepemimpinan yang pertama kali saya terima. Saya tidak ingin membandingkan kepemimpinan saya dengan orang lain. Karena sikap membanding-bandingkan selalu lahir dari "insecurity." Saya hanya ingin hidup sebagai mana saya dipanggil & menaati apa yang diperintahkan Allah untuk saya lakukan. Kiranya Allah terus membentuk saya sesuai dengan "gambar & rupaNya" (healthy self-image), sehingga saya dapat berfungsi dalam tanggungjawab kepemimpinan (berkuasa) yang Allah percayakan kepada saya (Kej 1:26-18).